Harga Minyak Naik karena Produksi di Laut Utara Terhenti

Harga minyak jenis Brent dalam perdagangan berjangka naik US$ 1,05 atau 2 persen dan menetap di US$ 54,17 per barel.

oleh Arthur Gideon diperbarui 05 Apr 2017, 06:00 WIB
Diterbitkan 05 Apr 2017, 06:00 WIB
Ilustrasi Harga Minyak Naik
Ilustrasi Harga Minyak Naik (Liputan6.com/Sangaji)

Liputan6.com, New York - Harga minyak menguat pada penutupan perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta). Terdapat beberapa penyebab kenaikan harga minyak tersebut, salah satunya adalah penghentian produksi di Laut Utara.

Mengutip Reuters, Rabu (5/4/207), harga minyak jenis Brent dalam perdagangan berjangka naik US$ 1,05 atau 2 persen dan menetap di US$ 54,17 per barel. Sedangkan harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) naik 79 sen atau 1,6 persen dan menetap di angka US$ 51,03 per barel.

Kedua harga minyak membukukan nilai tertinggi dalam sebulan terakhir. Harga minyak sempat tertekan di bulan lalu tetapi mulai merangkak naik kembali dalam beberapa hari terakhir.

Terdapat beberapa sentimen yang mendorong harga minyak kembali naik pada perdagangan hari ini. Sentimen terbesar pertama adalah adanya penghentian sementara produksi minyak di Lapangan Buzzard di Laut Utara yag memproduksi minyak mentah kurang lebih 180 ribu barel per hari.

Lapangan minyak tersebut saat ini sedang ada perbaikan di terminal pengolahan darat. Kemungkinan lapangan tersebut bisa beroperasi normal dalam dua hari mendatang.

Sentimen lain yang menggerakkan harga minyak adalah kepatuhan dari negara-negara anggota organisasi pengekspor minyak (OPEC) dan beberapa produsen dalam menjalankan kesepakatan pengendalian produksi.

"kepatuhan dari OPEC masih memegang peranan dalam mempengaruhi harga minyak dan kami harapkan rilis data pekan depan bisa lebih baik," jelas Direktur Ritterbusch & Associates, Jim Ritterbusch.

Sementara itu, stok minyak di AS turun lebih banyak dibanding dengan perkiraan awal pekan lalu. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh American Petroleum Institute, stok minyak mentah AS turun hingga 1,8 juta barel dibanding perkiraan awal yang hanya sebesar 435 ribu barel saja.

"Stok di AS perlu diawasi dengan ketat karena melakukan produksi secara besar-besaran dalam beberapa pekan terakhir," jelas analis komoditas Commerzbank, Carsten Fritsch. (Gdn/Ndw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya