Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak menguat pada perdagangan Kamis, 20 Maret 2025. Kenaikan harga minyak ini terjadi setelah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan sanksi baru terkait Iran dan ketegangan baru di Timur Tengah mengimbangi kekuatan dolar AS.
Mengutip CNBC, Jumat (21/3/2025), harga minyak Brent berjangka naik USD 1,22 atau 1,72 persen ke posisi USD 72 per barel. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak April yang berakhir pada Kamis menguat USD 1,10 menjadi USD 68,26.
Baca Juga
Adapun AS mengeluarkan sanksi baru terkait Iran pada Kamis, 20 Maret 2025 yang menargetkan entitas termasuk untuk pertama kalinya kilang independent China dan kapal yang memasok minyak mentah ke pabrik pemrosesan tersebut.
Advertisement
China adalah importir minyak Iran terbesar. Kilang “teapot” adalah kilang swasta China yang merupakan pembeli utama minyak Iran. Iran memproduksi lebih dari 3 juta barel minyak mentah per hati.
“Kami mencari semacam katalis untuk bergerak dan itulah tiket yang mendorong kami kembali ke titik tertinggi,” ujar Analis Senior Price Futures Group, Phil Flynn.
Di sisi lain, OPEC+ pada Kamis mengeluarkan jadwal baru bagi tujuh negara anggota termasuk Rusia, Kazakhstan dan Irak untuk melakukan pemangkasan produksi minyak lebih lanjut sebagai kompensasi atas pemompaan di atas level yang disepakati.
Rencana itu akan mewakili pemangkasan bulanan antara 189.000 barel per hari dan 435.000 barel per hari, berdasarkan situs OPEC. Pemangkasan yang dijadwalkan berlangsung hingga Juni 2026.
Persediaan Minyak Mentah
Sementara itu, persediaan minyak mentah AS naik 1,7 juta barel, melampaui ekspektasi kenaikan 512.000 barel dalam jajak pendapat Reuters sebelumnya.
Yang membatasi harga minyak mentah adalah dolar AS, yang naik sedikit setelah Federal Reserve mengindikasikan pada Rabu kalau tidak terburu-buru untuk memangkas suku bunga lebih lanjut tahun ini karena ketidakpastian seputar tarif dagang AS.
Dolar AS naik 0,52%, membuat minyak mentah lebih mahal bagi pembeli asing. Bank sentral AS tidak mengubah suku bunga acuannya pada Rabu, sebuah langkah yang telah diantisipasi secara luas oleh pasar, tetapi mempertahankan proyeksinya untuk dua kali pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin pada akhir tahun ini.
Pemotongan suku bunga biasanya meningkatkan aktivitas ekonomi dan permintaan energi. Namun, beberapa analis memperkirakan tren kenaikan harga minyak yang tidak merata dalam waktu dekat.
"Saya memperkirakan kenaikan yang tidak menentu di pasar minyak saat ini," kata Analis pasar senior di OANDA, Kelvin Wong seraya menambahkan langkah-langkah stimulus oleh Tiongkok dan permusuhan baru antara Israel dan Hamas merupakan pendorong harga yang bullish.
Advertisement
Kekhawatiran Tarif Dagang
Premi risiko global meningkat setelah Israel meluncurkan operasi darat baru pada Rabu di Gaza setelah melanggar gencatan senjata selama hampir dua bulan.
"Di tengah ketidakpastian yang berlaku, risiko sanksi sekali lagi menjadi fokus, karena pemerintahan Trump mengambil sikap yang lebih keras terhadap Venezuela, Iran, dan Rusia," kata analis JP Morgan dalam sebuah catatan pada Kamis.
AS terus melancarkan serangan udara terhadap target-target Houthi di Yaman sebagai balasan atas serangan kelompok itu terhadap kapal-kapal di Laut Merah. Presiden AS Donald Trump juga telah berjanji untuk meminta pertanggungjawaban Iran atas serangan-serangan Houthi di masa mendatang.
Dorongan Trump untuk mengenakan tarif pada Kanada, Meksiko, dan Tiongkok telah meningkatkan kekhawatiran akan resesi, yang membebani harga minyak. "Kekhawatiran tarif tampaknya sedikit menahan harga minyak," imbuh Flynn.
JP. Morgan mengatakan pihaknya memperkirakan harga Brent akan pulih ke kisaran pertengahan hingga tinggi USD 70-an selama beberapa bulan ke depan, sebelum turun di bawah USD 70 dan mengakhiri tahun di kisaran pertengahan USD 60-an, dengan rata-rata sekitar USD 73.
