Proyek Energi Bermasalah Temuan BPK

Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan kegiatan pengelolaan rantai suplai pada SKK Migas belum sesuai dengan perundang-undangan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 13 Apr 2017, 09:45 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2017, 09:45 WIB
Gedung BPK (Ilustrasi)
Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menerbitkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2016. Dari ringkasan 604 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) sepanjang periode tersebut, ada beberapa proyek energi bermasalah yang ditemukan BPK, bahkan berpotensi menimbulkan kerugian negara atas penyelenggaraannya.

Dari laporan IHPS II Tahun 2016 yang dikutip di laman resmi BPK, sebanyak 604 LHP meliputi 81 LHP (13 persen) pada pemerintah pusat, 489 LHP (81 persen) pada pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), serta 34 LHP (6 persen) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan badan lainnya.

Berdasarkan jenis pemeriksaan, LHP itu terdiri atas 9 LHP (1 persen) keuangan, 316 LHP (53 persen) kinerja, dan 279 LHP (46 persen) dengan tujuan tertentu (PDTT).

Hasil PDTT pada BUMN dan badan lainnya atas hasil pemeriksaan proyek kedaulatan energi dan ketenagalistrikan, BPK menemukan permasalahan pada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Juga terkait percepatan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu Megawatt (Mw).

Pertama, pemeriksaan atas pengelolaan rantai suplai bertujuan untuk menilai kegiatan pengelolaan rantai suplai 2015 oleh Divisi Pengelolaan Rantai Suplai SKK Migas dan menilai kepatuhan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) terhadap peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang dan jasa.

Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan kegiatan pengelolaan rantai suplai pada SKK Migas dan pelaksanaan pengadaan barang atau jasa pada KKKS belum didukung dengan sistem pengendalian intern yang memadai dan belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Permasalahan yang perlu mendapat perhatian di antaranya:

● SKK Migas belum:

(1) melakukan konfirmasi ulang kepada KKKS yang belum menyampaikan laporan realisasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN),
(2) memberikan surat teguran kepada pimpinan tertinggi KKKS yang belum menyampaikan laporan realisasi TKDN, serta
(3) mengenakan sanksi administrasi kepada 25 penyedia barang atau jasa atas ketidakmampuan dalam memenuhi komitmen TKDN.

● SKK Migas belum mempunyai standar atau norma, jenis, kategori dan besaran biaya yang digunakan pada kegiatan operasi perminyakan, meliputi:

- Standar harga barang atau jasa sebagai acuan penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS)
- Standar biaya untuk evaluasi atas biaya project authorization for expenditure (AFE) dan plan of development (POD)
- Penggunaan standar biaya barang dan jasa dalam melakukan evaluasi persetujuan rencana tender dan evaluasi penunjukan pemenang tender
- Evaluasi atas laporan realisasi TKDN yang disampaikan KKKS.

Proyek kedua yang mendapatkan catatan dari BPK, proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu Mw periode 2006-2015 pada PT PLN (Persero) bertujuan untuk menilai ketepatan perencanaan dan menilai apakah pengadaan, pembangunan dan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada proyek telah sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan teknis yang ditetapkan serta diperoleh dengan harga yang wajar.

Hasil pemeriksaan menyimpulkan PLN belum mampu merencanakan secara tepat dan belum mampu secara efektif menjamin kesesuaian dengan ketentuan dan kebutuhan teknis yang ditetapkan serta diperoleh dengan harga yang wajar atas pelaksanaan proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu Mw sehingga mengerek belanja dan kelemahan SPI.

PLN membangun pembangkit listrik di 37 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia dengan kapasitas sebesar 9.935 MW, terdiri dari 10 lokasi di Pulau Jawa berkapasitas 7.490 MW dan 27 lokasi di luar Pulau Jawa berkapasitas 2.445 MW

Permasalahan yang perlu mendapat perhatian di antaranya:

1. Pelaksanaan pembangunan PLTU berbahan baku batu bara tidak didukung dengan rencana pendanaan yang memadai. Selain itu, tidak didukung dengan penelaahan teknis atas risiko bawaan pemakaian batu bara berkalori rendah (Low Rank Coal/ LRC) yang mudah terbakar dan memerlukan penanganan tertentu

2. Pembangunan PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU Ambon, PLTU 2 NTB Lombok, dan PLTU Kalbar 2 terhenti alias mangkrak, serta PLTU Kalbar 1 berpotensi mangkrak, hingga mengakibatkan pengeluaran PLN sebesar Rp 609,54 miliar dan US$ 78,69 juta untuk membangun PLTU tersebut tidak memberikan manfaat sesuai dengan rencana

3. PLN belum mengenakan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pembangunan PLTU sebesar Rp 704,87 miliar dan US$ 102,26 juta. (Fik/Gdn)

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya