OJK akan Wajibkan Konglomerasi Keuangan Miliki Induk

Dalam rancangan POJK tersebut, yang wajib membentuk PIKK adalah Pemegang Saham Pengendali atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 13 Jun 2017, 17:15 WIB
Diterbitkan 13 Jun 2017, 17:15 WIB
20151104-OJK Pastikan Enam Peraturan Akan Selesai Pada 2015
Tulisan OJK terpampang di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta,(4/11/2015). Pengawas Pasar Modal OJK mengatakan pembahasan enam langkah sudah final karena tidak ada lagi perdebatan dari segi substansi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menerbitkan Peraturan OJK (POJK) tentang Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (PIKK) yang mewajibkan Konglomerasi Keuangan (KK) memiliki induk (holding company). Rancangan POJK itu juga mengatur definisi baru tentang KK.

Seperti mengutip laman resmi OJK, Selasa (12/6/2017), ketentuan ini dirilis sebagai upaya melengkapi dan memperkuat kebijakan pengawasan terintegrasi terhadap KK. Peraturan ini juga didasari masukan dari industri jasa keuangan serta hasil penelitian terhadap praktik di beberapa negara.

Dalam rancangan POJK tersebut, yang wajib membentuk PIKK adalah Pemegang Saham Pengendali atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir. Penerapan ketentuan ini mungkin akan mengakibatkan perubahan struktur kepemilikan, terutama apabila terdapat Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang tidak dimiliki secara langsung maupun tidak langsung oleh entitas yang ditunjuk sebagai PIKK. PIKK dapat berupa salah satu LJK dalam KK, atau dapat pula berupa entitas non-LJK, baik yang sudah ada maupun yang baru dibentuk.

RPOJK ini akan dilengkapi juga dengan pedoman pelaksanaan terkait proses penetapan PIKK. Apabila calon PIKK berupa entitas non-LJK, maka terlebih dahulu akan dinyatakan sebagai LJK Lainnya oleh OJK sebagaimana diatur pada UU No. 21 tahun 2011 tentang OJK, sehingga tunduk kepada dan diawasi oleh OJK. Selanjutnya, LJK Lainnya tersebut akan ditetapkan sebagai PIKK.

Konsep Entitas Utama (EU) yang digunakan saat ini memiliki keterbatasan, yaitu EU tidak memiliki kendali terhadap Lembaga Jasa Keuangan (LJK) lain anggota KK, sehingga dapat menyulitkan penerapan manajemen risiko, tata kelola, dan permodalan terintegrasi.

Adanya PIKK sebagai perusahaan induk diharapkan akan memudahkan Pemegang Saham Pengendali (PSP) atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT) dalam memantau perkembangan bisnis jasa keuangan yang dimiliki.

Dalam RPOJK tentang PIKK, OJK juga akan mengatur tentang perubahan kriteria KK yang semula hanya mempertimbangkan adanya hubungan kepemilikan oleh pihak yang sama, menjadi mempertimbangkan pula aspek keberagaman sektor keuangan dan total aset KK.

Sesuai POJK No. 17/POJK.03/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi terhadap Konglomerasi Keuangan, LJK yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian, dianggap sebagai KK.

Pada RPOJK ini, suatu grup LJK baru dinyatakan sebagai suatu KK apabila terdapat LJK pada setidaknya 2 sektor yaitu bank, perusahaan asuransi dan reasuransi, perusahaan efek, dan/atau perusahaan pembiayaan. Lalu, KK tersebut memiliki total aset minimal Rp 2 triliun.

Berdasarkan kriteria baru tersebut, saat ini terdapat 48 KK dengan total aset per posisi 31 Desember 2016 mencapai Rp 5.919 triliun, atau 67,6 persen dari total aset keseluruhan sektor jasa keuangan.

POJK tentang PIKK ini merupakan salah satu implementasi dari rancang bangun pengawasan terintegrasi OJK, yang terbungkus dalam suatu Roadmap Pengawasan Terintegrasi OJK 2017-2019, yang juga akan dikeluarkan dalam waktu dekat ini.

Pada roadmap tersebut, OJK akan melengkapi dan memperkuat kebijakan pengawasan terintegrasi, mengembangkan sistem dan metodologi pengawasan terintegrasi, dan memperkuat implementasi pengawasan terintegrasi.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya