Liputan6.com, Manado - Transaksi bisnis online (e-commerce) di Indonesia diprediksi dapat mencapai US$ 130 miliar pada 2020. Peluang ini harus dapat ditangkap Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk menggali potensi penerimaan dari bisnis online tersebut.
Direktur Peraturan Perpajakan I, Arif Yanuar mengaku belum menghitung potensi penerimaan pajak dari transaksi e-commerce di Indonesia. Akan tetapi, Ditjen Pajak tengah mempelajari potensi dari bisnis e-commerce yang belum terekam.
Advertisement
Baca Juga
"Kami belum menghitung secara mendalam. Yang kami lakukan mempelajari, karena tidak semua transaksi e-commerce tidak melakukan kewajiban perpajakannya," ujarnya saat acara Media Gathering di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (24/11/2017).
Arif mengaku, banyak pemain ritel besar menjalankan bisnisnya dengan dua strategi pemasaran, yakni melalui online dan konvensional.
"Dalam SPT, tidak ditemukan adanya pemisahan penghasilan dari penjualan [e-commerce ]( 3160934 "")dan konvensional. Jadi atas seluruh potensi ini, kami tidak sepenuhnya kehilangan," dia menjelaskan.
Saat ini, dia mengaku, Ditjen Pajak lebih fokus pada aturan pajak e-commerce agar menciptakan level kesetaraan (playing field) dengan konvensional.
Arif menegaskan tak ada objek pajak baru, melainkan hanya mengatur tata cara pemungutan pajaknya.
"Kami berikan kemudahan, karena seluruh basis datanya sudah tercatat. Kami ingin masuk ke sana terkait kewajiban perpajakannya supaya lebih simpel (tata cara pemungutan pajaknya)," papar Arif.
Potensi PPN Rp 186 Triliun
International Moneter Fund (IMF) menyebut, potensi penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mencapai 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika dihitung dengan nilai PDB Indonesia pada 2016 sebesar Rp 12.406 triliun, maka potensi penerimaan PPN yang bisa terkumpul mencapai sekitar Rp 186 triliun.
Arif mengaku, Ditjen Pajak berupaya membentuk tim untuk memperbaiki pelayanan pajak kepada masyarakat, dari mulai pendaftaran sampai pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh).
"Kami akan coba pelajari lagi, membedah kemungkinan dari e-commerce yang belum ter-capture data kami. Selanjutnya memperbaki regulasi, salah satunya perbaikan e-faktur," tuturnya.
Ditjen Pajak, kata Arif, sedang melakukan ujicoba penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada e-faktur, selain Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). "Sistemnya sedang diuji coba. Kalau sudah jalan, regulasi akan keluar. Jadi kalau tidak ada NPWP, pakai NIK saja," terangnya.
"Dengan begitu, jika total pembeliannya sudah Rp 4,8 miliar dari seseorang yang NIK-nya sekian, maka kami akan kukuhkan orang itu menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Cara lainnya, kerja sama dengan Ditjen Bea dan Cukai dan para eksportir importir," tukas Arif.
Advertisement