Buruh Ancam Demo Terus jika Aturan Pengupahan Tak Dicabut

Buruh mengancam akan menggelar aksi unjuk rasa hingga peringatan May Day untuk menuntut pencabutan aturan pengupahan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 04 Feb 2018, 16:01 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2018, 16:01 WIB
Ilustrasi Upah Buruh
Ilustrasi Upah Buruh (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengancam akan menggelar aksi unjuk rasa hingga peringatan May Day untuk menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Target buruh , aturan itu bisa dicabut pada 2018.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPP FSPMI), Riden Hatam Aziz mengungkapkan, buruh akan menyerukan deklarasi pencabutan PP 78/2015. Tuntutan ini akan diikuti dengan aksi demo bertubi-tubi sejak 6 Februari ini sampai May Day 1 Mei mendatang.

"Sepanjang PP 78 tidak dicabut Pak Jokowi, maka sepanjang itu pula kami akan terus menggelar aksi," tegas dia saat Konferensi Pers di kantor LBH Jakarta, Minggu (4/2/2018).

Riden mengancam, apabila Presiden Jokowi tetap bergeming, maka buruh akan mengadakan perlawanan atau demo yang lebih masif. Tentunya dengan jumlah massa yang lebih banyak dari unjuk rasa Selasa depan (6/2/2018) yang rencananya akan melibatkan sekitar 20 ribu buruh.

"Target 2018, PP 78 harus dicabut. Jadi sekarang doktrik kami melawan tanpa kompromi sehingga kami konsolidasi dengan buruh di seluruh daerah," dia menerangkan.

Sementara itu, Deputi Presiden KSPI, Muhammad Rusdi menilai Presiden Jokowi gagal menyejahterakan kaum buruh. Buruh yang tergabung dalam KSPI sudah tiga tahun lebih berdemo supaya pemerintah mencabut PP 78/2015 yang disebut-sebut sebagai rezim upah murah.

"Kami akan menggelar aksi terus menerus dari 6 Februari sampai May Day untuk menuntut PP 78 dicabut. Eskalasinya akan terus meningkat," ucap Rusdi.

 

Aturan pengupahan

Dirinya menjelaskan, dengan PP 78/2015 tentang Pengupahan, upah minimum provinsi (UMP) ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Padahal, diakui Rusdi, harusnya juga memasukkan survei 60 Komponen Hidup Layak (KHL).

"Jadi ada mekanisme yang dilanggar. Alhasil, kenaikan UMP hanya 8,7 persen di tahun lalu. Saat ini, upah di Indonesia masih sangat rendah sekali," tuturnya.

Rusdi mencontohkan, UMP buruh untuk wilayah Jabodetabek dan kota industri lainnya berkisar dari Rp 3,3 juta sampai Rp 3,8 juta per bulan. Namun tidak dirasakan di luar daerah industri, seperti di Jawa Tengah yang menerapkan UMP di bawah Rp 2 juta per bulan.

"UMP kita terendah sedunia. UMP Jabodetabek kisaran Rp 3 juta per bulan, jauh di bawah China, Filipina, Bangkok. Singapura saja sudah di atas Rp 40 juta. Hong Kong dan Korea Selatan di atas Rp 10 juta. Kalau kita bilangnya tinggi, itu pembohongan publik," terangnya.

Ironisnya, diungkapkan Rusdi, kebijakan upah murah yang ditetapkan pemerintah justru diiringi dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, seperti beras, dan lainnya. Subsidi listrik, sambungnya, dicabut sehingga terjadi kenaikan tarif listrik hampir 130 persen.

"Ini bukti Jokowi gagal, tidak mensejahterakan rakyat kecil dan kaum buruh. Oleh karenanya, buruh minta pemerintah mencabut PP 78/2015," tandas Rusdi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya