Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya meningkatkan ekonomi syariah di Indonesia, salah satu lewat pasar modal.
Kepala Sub Bagian Hubungan Kelembagaan Direktorat Pasar Modal Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Andry Wicaksono mengatakan, langkah pihaknya meningkatkan sektor keuangan syariah dengan menjamin keamanan investasi reksa dana. Caranya dengan selektif dalam memilih saham syariah yang bakal ditawarkan kepada calon nasabah reksa dana.
"Pertama, OJK menerbitkan yang namanya daftar efek syariah. Kemudian diambil teman-teman bursa itu dibuat dalam Indeks Saham Syariah Indonesia. Setelah itu ada sekitar 300-an diambil dan diurutkan 1 sampai 300 berdasarkan market cap, atau nilai paling besar dari perusahaan," ungkapnya dalam 'Bincang Santai Investasi Syariah, di Jakarta, Sabtu (10/3/2018).
Advertisement
Baca Juga
Dari 300 saham tersebut, kata dia, kemudian diambil 60 saham syariah dengan market cap terbesar. "Setelah itu urutan 61 ke bawah dibuang, di ambil 60 saham syariah dengan market cap terbesar," ujar dia.
Tak berhenti di situ, ke-60 saham syariah tersebut diseleksi lagi untuk ditemukan 30 saham syariah yang benar-benar liquid (cair) untuk ditawarkan kepada calon nasabah reksa dana.
"Dicari lagi yang liquid. Volume transaksinya paling besar, sering ditransaksikan oleh orang dapatlah 30. 30 itu masuklah dalam yang namanya Jakarta Syariah Index," ujar dia.
Reporter: Wilfridus Setu
Sumber: Merdeka.com
Selanjutnya
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan segera menerbitkan aturan untuk mengatur keberadaan teknologi finansial (financial technology atau fintech) terutama peer to peer di Indonesia. Langkah ini demi melindungi masyarakat dari kerugian.
Hingga kini, OJK mencatat baru 36 fintech yang terdaftar, sebanyak 42 fintech dalam proses pendaftaran, serta 42 masih belum terdaftar.
Ketua Umum OJK, wimboh Santoso mengatakan, keberadaan fintech salah satunya platform peer to peer landing terus marak dan sulit terbendung seiring meningkatnya teknologi informasi. Namun sesuai dengan kewenangan dan tugas, OJK akan tetap berupaya melindungi masyarakat. Salah satunya dengan mengatur masalah fintech ini.
"Langkah pengaturan ini agar fintech transparan. Bagaimana fee-nya, pricing-nya, siapa yang punya dan bertanggungjawab terhadap fintech tersebut, dan lain sebagainya, jelas dia di Bandung, Minggu 4 Maret 2018.
Wimboh menargetkan ketentuan soal fintech akan terbit di semester pertama tahun ini. Langkah pengaturan dan pengawasan dikatakan semata-mata untuk perlindungan konsumen, yakni dengan mendorong edukasi di masyarakat serta transparansi perusahaan.
Kembali, Wimboh mengingatkan masyarakat tetap mewaspadai dan berhati hati dalam menggunakan layanan platform fintech, seperti pinjaman langsung tunai (peer to peer landing).
Keberadaan fintech diakui memang memudahkan masyarakat sebab dapat menyediakan berbagai produk dan jasa yang cepat dan mudah diakses. Namun, pihaknya mengingatkan pihak yang terlibat, yakni peminjam dan pemberi pinjaman, untuk memahami lebih jauh perusahaan fintech dan skema bisnisnya, sebelum memutuskan menggunakan layanan tersebut.
Apalagi kata dia, suku bunga fintech sangat tinggi dibandingkan layanan bank. Hal lain potensi default dari layanan ini juga besar.
“Fintech bunganya rata-rata sampai 19 persen. Which is cukup mahal. Bahkan, ada yang di atas 20 persen. Ini tinggi sekali, mencekik,” tegas Wimboh.
Dia menegaskan fintech bukan termasuk lembaga jasa keuangan, melainkan platform yang menjadi sarana untuk mempertemukan pemilik dana (investor atau pemberi pinjaman) dengan pihak yang membutuhkan dana (peminjam).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement