Rupiah Tembus 14.000 per Dolar AS, Terendah sejak Desember 2015

Pemicu Rupiah antara lain pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di luar prediksi.

oleh Nurmayanti diperbarui 07 Mei 2018, 20:18 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2018, 20:18 WIB
Rupiah-Melemah-
Petugas Bank tengah menghitung uang rupiah di Bank BRI Syariah, Jakarta, Selasa (28/2). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar Rupiah kembali terpuruk. Rupiah tercatat diperdagangkan di atas 14.000 per USD untuk pertama kalinya sejak Desember 2015. Ini dipicu kekhawatiran jika pertumbuhan ekonomi yang di luar target, dapat membatasi opsi bank sentral untuk mempertahankan mata uang ini.

Mengutip laman Bloomberg, Senin (7/5/2018), Rupiah anjlok 0,5 persen menjadi 14.003 per USD, sebelum diperdagangkan pada 13.999 pukul 4:55. Dalam 3 bulan terakhir, mata uang Garuda telah melemah 3,2 persen. Ini membuatnya menjadi pemain terburuk kedua di Asia setelah rupee India, mengutip data Bloomberg.

Perekonomian Indonesia dilaporkan tumbuh di luar target pada kuartal I tahun ini. BPS melaporkan ekonomi nasional hanya tumbuh 5,06 persen dari target 5,2 persen.

Kondisi ini diprediksi akan mempersulit langkah Bank Indonesia untuk meningkatkan suku bunga guna melindungi mata uang. Bank sentral telah meningkatkan pembelian obligasi negara dari pasar sekunder untuk membendung aksi jual dan melakukan intervensi di pasar valas untuk menstabilkan rupiah.

Menurut Mingze Wu, pedagang mata uang INTL FCStone Inc di Singapura, tekanan pada mata uang dapat terus berlanjut karena investor asing akan mengonversi dividen dan pembayaran bunga saham dan obligasi dalam denominasi Rupiah menjadi dolar. "Ini hanya musiman yang menambah tekanan," kata Wu.

"Meskipun demikian, 14.000 adalah penghalang psikologis sehingga bank sentral mungkin masih memainkan bagian untuk mempertahankan ini," lanjut dia.

Namun, Kepala Ekonomi dan penelitian PT UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja, menilai ada kesalahpahaman jika ekonomi Indonesia tampak sedang menuju kemunduran seperti yang ditunjukkan oleh depresiasi Rupiah.

“Tapi kami melihat ini sebagai penguatan dolar yang luas, dan upaya yang diambil oleh Bank Indonesia untuk campur tangan dari waktu ke waktu untuk memperbaiki kesalahpahaman dibenarkan,” dia menuturkan.

Rupiah Nyaris Tembus 14.000 per Dolar AS, IHSG Meroket

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) makin menanjak pada penutupan perdagangan hari ini (7/5/2018). IHSG mampu mendaki saat kurs dolar AS diperdagangkan nyaris Rp 14.000.

IHSG ditutup menguat cukup dalam 92,75 poin atau 1,60 persen ke level 5.885,09. Sementara indeks LQ45 lompat 2,27 persen ke level 941,039.

Gerak IHSG ke zona hijau ditopang penguatan 216 saham. Sedangkan 168 saham tercatat melemah dan 103 saham tidak beranjak alias stagnan.

Total frekuensi perdagangan saham hari ini mencapai 401.052 kali dengan volume 9,4 miliar saham dan senilai Rp 6,5 triliun. Investor asing melakukan penjualan di seluruh pasar senilai Rp 625,40 miliar. Sementara, dolar AS diperdagangkan pada posisi Rp 13.993.

Hampir seluruh sektor saham mengalami kenaikan. Sektor saham aneka industri tercatat melemah sendirian sebesar 1,49 persen.

Penguatan tertinggi dialami sektor saham consumer goods yang menguat 5,09 persen, diikuti sektor saham manufaktur naik 2,90 persen, dan sektor pertambangan melaju 1,37 persen.

Saham-saham yang mendulang untung, antara lain saham POLY dengan kenaikan signifikan sebesar 34,53 persen. Disusul saham TALF dan CITA yang masing-masing terdongkrak 25 persen.

Sementara, saham-saham yang masih menahan laju IHSG dengan pelemahan tertinggi, antara lain saham NICK amblas 20,61 persen, saham MIDI terperosok 18 persen, dan saham BUVA anjlok 16,53 persen.

Melongok bursa saham Asia, pergerakannya justru bervariasi. Indeks saham Shanghai China mendaki 1,48 persen, indeks saham Taiwan naik 0,72 persen, dan indeks saham Hang Seng Hong Kong menguat 0,23 persen.

Sedangkan indeks saham yang terkoreksi, antara lain indeks saham Nikkei Jepang melemah 0,03 persen, indeks saham Thailand tergelincir 0,06 persen, dan indeks saham Strait Times Singapura menukik 0,35 persen.

Dalam laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia menyatakan, meski pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,06 persen pada kuartal I 2018, ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh 5,1 persen pada 2018.

Diprediksi pertumbuhan ekonomi mencapai 5,1 persen pada 2018. Pertumbuhan ekonomi akan didorong dari sektor konsumsi. Ini dipacu pemilihan kepala daerah dan tambahan bonus pada Juni 2018.

VP Sales and Marketing PT Ashmore Assets Management Indonesia, Angganata Sebastian menuturkan, rilis data ekonomi kuartal I 2018 belum dapat jadi sentimen kuat menopang IHSG. Ini lebih didorong euforia bursa saham Amerika Serikat pada Jumat pekan lalu.

"Saya pikir lihat angkanya belum bisa. Namun, valuasi yang sudah cukup rendah jadi alasan kenaikan (IHSG-red) hari ini," kata Angganata.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya