Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia menilai upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi pembengkakan defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) tidak akan terlihat hasilnya dalam waktu dekat.
Beberapa langkah tersebut di antaranya adalah penerbitan kebijakan baru yaitu pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2018 yang mengatur pemberian insentif pada minyak kelapa sawit (biodiesel) yang dicampur seluruh jenis solar, untuk menjalankan program campuran 20 persen biodiesel dengan solar (B20).
Hal tersebut bertujuan untuk menyehatkan defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) sebab dapat menekan impor. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang resmi merevisi naik tarif Pajak Penghasilan (PPh) 22 untuk 1.147 barang impor.
Advertisement
Baca Juga
Pengenaan tarif ini dikelompokkan menjadi tiga bagian pos tarif sesuai dengan tingkat kepentingan barang di dalam negeri. Terakhir, pemerintah juga akan menghentikan sementara proyek-proyek infrastruktur yang memiliki kandungan impor bahan baku cukup tinggi.
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang PS Brodjonegoro, menyatakan semua upaya tersebut dampaknya memang tidak akan bisa dirasakan secara cepat.
"Mungkin dalam jangka sangat pendek, iya (tidak terasa). Tapi dalam jangka menengah pasti membantu . Terutama untuk tahun depan karena kita menyelesaikan defisit CAD itu tidak hitungannya harian atau mingguan, ada waktu yang dibutuhkan. Sampai akhir tahun dan sampai tahun depan," kata Bambang saat ditemui dalam acara laporan lndonesia Economic Quarterly Bank Dunia edisi September 2018 yang dirilis hari ini di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (20/9/2018).
Dia menegaskan, yang penting pemerintah sudah menunjukkan usahanya dan tidak berpangku tangan saja. "Yang penting kita harus siapkan langkah-langkahnya dari sekarang, tidak bisa kita menunggu masalah baru menyiapkan langkah," ujar dia.
Bambang juga menjelaskan penundaan proyek infrastruktur yang ditunda tidak diberlakukan pada proyek yang sudah berjalan.
"Tapi yang belum mulai. Proyek itu butuh tahunan untuk selesai. Jadi tidak mengganggu penyelesaian proyek, karena yang ditunda adalah yang belum mulai,” ujar dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Defisit Transaksi Berjalan RI Bakal Melebar
Sebelumnya, Bank Dunia meramalkan defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) yang saat ini membengkak masih akan terus melebar.
Country Director World Bank Indonesia, Rodrigo Chavez, mengatakan meskipun langkah kebijakan yang menentukan dan terkoordinasi yang diambil telah secara signifikan berhasil meningkatkan ketahanan terhadap gejolak pasar keuangan.
Di sisi lain, sektor keuangan Indonesia yang dangkal serta tingkat ekspor dan investasi langsung asing yang relatif rendah menyiratkan tekanan dari arus keluar modal kemungkinan akan terus berlanjut.
"Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan melebar menjadi 2,4 persen dari PDB pada tahun 2018 dan stabil pada 2,3 persen di tahun 2019," kata dia dalam acara laporan lndonesia Economic Quarterly Bank Dunia edisi September 2018 yang dirilis hari ini di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis 20 September 2018.
Dia menjelaskan, kondisi tersebut terjadi karena arus keluar pendapatan utama yang lebih rendah diimbangi oleh nilai tukar perdagangan (terms of trade, TOT) yang lebih lemah.
"Permintaan investasi yang terus berlanjut untuk barang modal yang diimpor, dan menurunnya pertumbuhan para mitra dagang utama," ujar dia.
Dia menyebutkan, langkah-langkah pemerintah untuk menekan defisit transaksi berjalan seperti menaikkan pajak atas 1.147 komoditas impor dan menunda proyek infrastruktur publik dinilai tidak akan memiliki dampak yang besar pada transaksi berjalan dalam waktu dekat ini.
"Langkah-langkah tersebut sebenarnya mungkin memiliki akibat yang tidak diinginkan mengingat kebutuhan Indonesia untuk memperluas ekspor, yang mensyaratkan pemberian fasilitas impor, dan keuenjangan infrastrukturnya yang besar,” kata dia.
Dengan komitmen yang ditunjukkan oleh otoritas fiskal dan moneter terhadap stabilitas ekonomi, lanjutnya, tekanan berkelanjutan dari gejolak global kemungkinan akan menimbulkan pengetatan tambahan terhadap kondisi ekonomi makro.
"Oleh karena itu, risiko penurunan pertumbuhan ekonomi telah meningkat. Walaupun nilai mata uang yang lebih rendah akan membantu menahan defisit transaksi berjalan dan merangsang pertumbuhan ekspor," tambah dia.
Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga dapat menurunkan kepercayaan konsumen dan meningkatkan inflasi, yang mengakibatkan pertumbuhan konsumsi yang lebih lambat.
"Imbal hasil obligasi yang lebih tinggi akan menyebabkan pembiayaan yang lebih mahal bagi korporasi, yang dapat mengurangi pemulihan kredit dan investasi swasta yang sedang merebak," ujar dia.
Peningkatan proteksionisme juga menimbulkan risiko yang tinggi bagi Indonesia melalui pertumbuhan ekspor yang melambat atau melalui efek perluasan (spillover) yang negatif dari pertumbuhan regional yang lebih lambat sebagian melalui harga komoditas yang lebih lemah.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement