Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pelemahan mata uang rupiah harus dilihat secara utuh. Menurutnya, pelemahan nilai tukar rupiah ini merupakan dampak dari ketidakpastian global dan hal tersebut hanya menimpa Indonesia saja, melainkan juga negara berkembang lainnya.
Mengutip laman resmi facebook Sri Mulyani, Sabtu (15/9/2018), ia memaparkan bagaimana normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) berdampak signifikan kepada perekonomian Indonesia termasuk juga kepada nilai tukar rupiah.Â
Tak hanya itu, ia juga menjelaskan apa yang telah dilakukan pemerintah terkait bagaimana mengatasi sentimen eksternal untuk menjaga keseimbangan ekonomi RI.
Advertisement
Lengkapnya, berikut paparan Sri Mulyani mengenai kondisi ekonomi Indonesia saat ini ditengah ketidakpastian global: melalui laman Facebooknya tadi malam:
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perekonomian Indonesia
Menjaga suatu perekonomian adalah pekerjaan tak pernah berhenti, tak boleh lengah dan harus dilakukan terus-menerus, karena situasi dan tantangan ekonomi terus berubah dan sering perubahan terjadi sangat cepat.
Perkembangan ekonomi terkini menunjukan hal tersebut, dimulai dengan langkah normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat yaitu suku bunga di Amerika Serikat dinaikkan, dan likuiditas dollar Amerika dikurangi atau diperketat.
Selain itu kebijakan fiskal Amerika juga ekspansif dengan penurunan pajak dan belanja yang meningkat. Ditambah kebijakan perang dagang oleh Presiden Trump kepada Eropa dan China dengan kenaikan tarif barang impor ke Amerika Serikat.
Dampak dari kebijakan di Amerika Serikat dirasakan seluruh dunia dalam bentuk suku bunga dollar meningkat, arus modal ke seluruh dunia terutama ke negara berkembang dan emerging menurun, dan ketidakpastian perdagangan internasional.
Advertisement
Bagaimana Situasi Global Tersebut Mempengaruhi Indonesia?
Ada empat aspek perekonomian yang harus dikelola dalam menjaga stabilitas dan kelanjutan kemajuan perekonomian menghadapi guncangan dunia tersebut. Pertama, aspek sektor riel yang ditunjukkan dengan Indikator pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB).
Kedua, aspek Fiskal, yaitu APBN meliputi penerimaan, belanja negara dan pembiayaan. Ketiga, aspek Moneter serta sektor keuangan, dan keempat, aspek Neraca Pembayaran yaitu keseimbangan eksternal antara perekonomian Indonesia dengan dunia.
Dari sisi kegiatan ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini justru sedang mengalami akselerasi setelah mengalami tekanan merosotnya harga komoditas sejak 2015-2016. Pertumbuhan ekonomi berada pada tingkat 5,17% di semester I 2018 tertinggi sejak 2014 dan tingkat pengangguran berada pada posisi 5,13% (terendah dalam dua dekade) dan tingkat kemiskinan pada 9,8% (terendah dalam dua dekade).
Dari sisi fiskal, penerimaan negara di semester I telah mencapai 44,0 %dari target, dengan pertumbuhan penerimaan pajak yang membaik mencapai 14,3% atau lebih tinggi dari pertumbuhan di semester I 2017 yaitu 9,6%. Realisasi penyerapan belanja negara sampai akhir Juli 2018 mencapai 44,0%, realisasi tranfer ke daerah dan dana desa sebesar 58,6 % dari pagu. Defisit sampai akhir Juli 2018 sekitar 1,02 persen dan keseimbangan primer positif 46,4 triliun, suatu kemajuan kesehatan APBN yang luar biasa dibanding situasi 3 tahun terakhir. Konsolidasi fiskal dikakukan untuk meminimalkan dampak lingkungan global terhadap APBN dan meningkatkan ketahanan perekonomian.
Dari sisi moneter, inflasi sangat terjaga pada angka 3,2% di semester I 2018, dengan stabilitas inflasi terjaga selama 3 tahun terakhir dikisaran 3,5%. Sektor keuangan juga menunjukkan situasi yang stabil dan membaik. Hal ini tercermin dari tingkat kecukupan modal perbankan (CAR) yang mencapai 22% di triwulan II 2018, tingkat Non Perfoming Loan atau kredit macet yang tetap rendah sebesar 2,7%, dan pertumbuhan kredit mencapai 10,7% yang akan terus membaik. Secara keseluruhan tahun 2018, rata-rata pertumbuhan kredit diperkirakan berada pada kisaran 10-12%.
Tantangan Keseimbangan Eksternal
Dari aspek keseimbangan eksternal, neraca pembayaran Indonesia menghadapi perubahan yang sangat drastis pada tahun 2018. Inilah yang harus diwaspadai oleh kita semua tanpa harus menjadi panik. Pada tahun 2016 dan 2017, transaksi berjalan (yaitu ekspor dikurang impor untuk barang dan jasa) mengalami defisit sebesar USD 17 miliar USD (-1,8%PDB)dan USD 17,3 miliar USD (-1,7%PDB).
Defisit transaksi berjalan tersebut dapat dikompensasi oleh arus modal dan keuangan yang masuk ke Indonesia sebesar USD 29,3 miliar dan USD 29,2 miliar, sehingga secara keseluruhan neraca pembayaran masih surplus sebesar USD 12,1 dan USD 11,6 miliar USD, sehingga cadangan devisa Indonesia meningkat hingga pernah mencapai tertinggi sebesar USD 132 miliar.
Memasuki 2018, normalisasi kebijakan moneter menyebabkan pembalikan arus modal dan keuangan dari negara emerging ke Amerika Serikat. Kondisi ini menyebabkan Neraca Pembayaran mengalami tekanan, karena arus modal ke Indonesia yang sebelumnya mencapai diatas USD29 miliar pada Tan 2016 dan 2017, kini hanya menjadi USD 6,5 miliar dalam semester 1-2018.
Penurunan tajam arus modal tersebut ini, dihadapkan pada defisit transaksi berjalan pada semester pertama 2018 yang justru meningkat yaitu sebesar USD 13,7 miliar, sehingga secara keseluruhan neraca pembayaran Indonesia mengalami defisit sebesar USD -8,2 miliar. Hal ini menggerus cadangan devisa dan menekan nilai tukar rupiah. Masalah inilah yang sedang ditangani pemerintah.
Advertisement
Yang Dilakukan Pemerintah
Untuk dapat mengatasi masalah defisit transaksi berjalan dilakukan dengan dua cara yaitu: meningkatkan ekspor dan mengendalikan impor baik untuk barang maupun jasa. Kelihatannya mudah, namun ini memerlukan kerja keras bersama.
Pemerintah menggunakan kebijakan, instrumen dan pemihakan untuk mendorong ekspor, karena ini menyangkut daya saing perekonomian Indonesia. Kebijakan memperbaiki pendidikan, termasuk memberikan bea siswa hingga pendidikan tinggi, kebijakan membangun infrastruktur listrik dan untuk konektivitas, dan kebijakan mempermudah dan menyederhanakan perijinan melalui One Single submission (OSS) dna perbaikan layanan kepabeanan adalah untuk menunjang daya saing dunia usaha dan ekspor.
Pemerintah juga menggunakan instrumen fiskal (pajak dan kepabeanan) serta instrumen pembiayaan seperti melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dalam meningkatkan kemampuan dan pembiayaan eksportir. Kebijakan perindustrian, pertanian, perikanan, pertambangan dan kehutanan serta perdagangan digunakan untuk mendukung eksportir Indonesia. Peran pemerintah daerah juga sangat menentukan kenaikan ekspor Indinesia. Meski hasilnya tidak serta merta, namun kebijakan ini harus terus konsisten dilakukan.
Untuk mengendalikan impor, telah dan akan dilakukan: pengenaan pajak impor pada barang-barang tertentu, penggunaan biodisel B20 sebagai pengganti solar (untuk membatasi impor bahan bakar minyak), peningkatan penggunaan komponen lokal pada proyek infrastruktur. Pemerintah juga melakukan seleksi terhadap proyek-proyek infrastruktur yang memiliki konten impor besar untuk ditunda.
Pemerintah juga menggunakan insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance untuk investasi dalam negeri dalam rangka membangun instrumen hulu dan substitusi impor. Upaya pengendalian impor dilakukan segera karena pertumbuhan impor meningkat pesat diatas 13,4% hingga Agustus 2018 diatas pertumbuhan ekspor yang hanya tumbuh diatas 5% pada periode yang sama.
Sedangkan kebijakan untuk meningkatkan arus modal dan keuangan masuk ke Indonesia dilakukan dengan meningkatkan daya tarik investasi di Indonesia. Peringkat ease of doing business yang makin baik dan kebijakan yang terus meningkatkan daya saing Indonesia harus terus ditingkatkan. Hasil kebijakan ini tidak serta merta, apalagi pada saat kondisi likuiditas global yang makin ketat. Namun kebijakan yang bersifat memperbaiki fundamental perekonomian Indonesia harus terus dilakukan yang akan membangun reputasi Indoensia sebagai perekonomian yang sehat dan kompetitif, meskipun hasilnya mungkin baru dinikmati pada periode mendatang. Inilah komitmen kenegarawan dan kecintaan bagi negara di luar kepentingan sesaat.
Perkiraan ke Depan
Bersama Bank Indonesia yang bertanggung jawab menjalankan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas harga dan nilai tukar, dan OJK serta LPS yang menjaga kesehatan sektor keuangan dan perbankan, Pemerintah akan terus menjaga perekonomian melalui kebijakan fiskal dan kebijakan sektor riel lainnya. Kerjasama dan kepercayaan dunia usaha juga sangat penting dalam menjaga perekonomian Indonesia untuk terus dapat maju ditengah gelombang pasang dunia.
Pemerintah tetap waspada dan terus memantau perkembangan situasi global dan kondisi perekonomian kita, seperti perkembangan perang dagang Amerika Serikat dengan China, Eropa dan negara lain. Perkembangan kebijakan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate dan pengetatan likuiditas, dinamika harga minyak dunia, perkembangan krisis di negara-negara emerging dan kondisi geopolitik di seluruh kawasan yang memiliki potensi spillover (efek pengaruh dan penularan) yang signifikan.
Pemerintah akan memonitor dampak dari kebijakan yang telah diambil, misalnya kebijakan pengedalian impor, penundaan proyek dan kenaikan suku bunga Bank Indonesia yang dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi. Upaya meminimalkan dampak negatif dilakukan dengan memacu sumber pertumbuhan lain, seperti investasi dalam negeri. Setiap kebijakan dan tindakan korektif untuk menyelesaikan suatu masalah, pasti memiliki dampak yang kadang tidak mudah.
Namun pemerintah tidak akan segan mengambil kebijakan untuk melindungi kepentingan perekonomian dan kepentingan bersama. Pemerintah juga akan senantiasa menyesuaikan bauran kebijakan sesuai dengan perkembangan yang terjadi, fleksibilitas dan pragmatisme diperlukan pada saat negara menghadapi ketidakpastian tinggi. Namun fokus pemerintah akan tetap sama, yaitu bagaimana terus membangun fondasi ekonomi yang makin kokoh dan terus berupaya melindungi dan memperkuat kelompok masyarakat yang paling rentan dan miskin.
Advertisement