Pembangunan Jalan Tol Belum Bisa Turunkan Biaya Logistik

Jalan tol hanya dinikmati oleh kaum menengah ke atas yang melakukan perjalanan dengan kendaraan pribadi.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Jan 2019, 20:13 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2019, 20:13 WIB
Pemudik Mulai Padati Tol Cipali
Kepadatan terjadi di Jalan Tol Cipali, Jawa Barat mengarah ke Jakarta, Kamis (29/6). Memasuki H+4 Lebaran, arus balik dari Jawa Tengah menuju Jakarta masih terpantau ramai lancar. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Konektivitas di Pulau Jawa kini semakin berkembang. Terutama dengan banyak dibukanya ruas-ruas jalan tol baru yang menghubungkan banyak daerah. Namun kondisi tersebut masih menyisakan satu permasalahan. Yaitu tarif yang tidak murah.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebutkan, persoalan tarif tersebut membuat tujuan utama pembangunan tol yaitu menekan biaya logistik atau logistic cost menjadi tidak tercapai.

Dia menyebutkan, tarif tol yang tinggi tidak akan menjadi masalah bagi pengguna kelas menengah ke atas yang menggunakan mobil pribadi. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi truk-truk logistik.

"Tarif tol dari Jakarta - Surabaya andaikan itu mencapai lebih dari Rp 300 ribu sekali jalan, buat kelas menengah masih affordable. Pertanyaan pentingnya sebenarnya yang harus lebih dilihat adalah tuntutan dari jasa logistik yang mengeluh karena tarif tol yang lebih mahal dan berkali-kali lipat itu terjadinya lebih parah pada transportasi logistik. Karena dipisahkan yang mobil pribadi sama yang logistik dan harganya lebih mahal," kata Bhima, Sabtu (19/1/2019).

Bhima mencontohkan, saat tol Cipali beroperasi berdasarkan data sebanyak 30 persen truk logistik malah beralih menggunakan jalan arteri atau jalan umum dalam perjalanannya.

Bhima mengungkapkan, ada hal lain selain tarif yang menjadi penyebab kondisi tersebut. Yaitu adanya faktor sosial budaya yang luput dari perhatian pemerintah saat membangun jalan tol.

"Kenapa truk dibikinin jalan tol masih lewat jalan arteri? yang pertama kalau soal tarif mahal itu masih rasional. Yang kedua miss di culture, di sini supir truk itu mau mampir bentar - bentar di Pantura. Sopir truk itu bukan sopirnya lamborghini atau Ferrari yang butuh kecepatan 100 km per jam atau 200 km per jam, truk itu jalannya 15 sampai 20 km per jam. Jadi buat apa saya masuk jalan bebas hambatan kalau speed sama dengan jalur arteri," ujar Bhima.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Tol Dinikmati Kalangan Menengah ke Atas

Jalan Tol Becakayu
Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) di Jalan DI Panjaitan, Jakarta, Kamis (25/10). Proyek yang masih terus berlangsung ini dikerjakan sebagai upaya mengurai kemacetan di ibu kota. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Kemudian yang terjadi adalah jalan tol yang harusnya mampu menekan logistic cost tidak dapat tercapai. Jalan tol hanya dinikmati oleh kaum menengah ke atas yang melakukan perjalanan dengan kendaraan pribadi.

"Sudah susah payah dipaksakan harus membangun jalan tol, tetapi penikmat yang harusnya diprioritaskan itu angkutan logistik tidak mendapatkan kenikmatan, malah akhirnya kembali kepada jalan arteri. Dan saya masuk pada paham yang lebih radikal, jangan-jangan yang kita butuhkan di Indonesia khususnya menyambungkan Jawa itu bukan jalan tol, justru memperbesar jalur arteri itu multiplier efectnya lebih besar," ujarnya.

Bhima mengungkapkan, ada alternatif solusi mahalnya jalan tol bagi kendaraan logistik. Yaitu adanya subsidi dari APBD. Sebab pengelola jalan tol tidak mungkin menurunkan tarif karena mereka mengejar waktu balik modal atau break event point secepat-cepatnya.

"Kecuali skemanya adalah APBD subsidi angkutan yang masuk ke jalan tol diskon 50 persen subsidinya masuk ke dalam APBD setiap daerah yang dilintasi jalan tol. Itu salah satu juga bagaimana konsep untuk menurunkan tarif tol," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya