Penggabungan SKM dan SPM Picu Persaingan Tak Sehat di Industri Rokok

Produksi SKM yang merupakan penyerap bahan baku tembakau nasional tidak akan mampu bersaing di pasaran dengan SPM yang sudah memiliki brand nasional.

oleh Septian Deny diperbarui 17 Mar 2019, 20:29 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2019, 20:29 WIB
20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Wacana penggabungan golongan rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) kembali disuarakan Komisi XI DPR RI. Adanya penggabungan dua golongan tersebut dinilai akan meningkatkan penerimaan negara.

Namun Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji menilai, usulan penggabungan segmen SKM dan SPM itu jelas kurang tepat. Pasalnya, hal itu justru akan memicu persaingan yang tidak sehat pada ekosistem industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia.

“Kami meyakini, usulan yang didesakkan oleh politisi Senayan tersebut akan melibas produksi hasil pertanian tembakau nasional,” ujar dia di Jakarta, Minggu (17/3/2019).

Dia menyatakan, produksi SKM yang merupakan penyerap bahan baku tembakau nasional tidak akan mampu bersaing di pasaran dengan SPM yang sudah memiliki brand nasional.

“Penolakan APTI terhadap usulan komisi XI DPR RI utamanya didasarkan pada perbedaan generik biologis SPM dan SKM. Sehingga, kebijakan terhadap kedua produk tembakau tersebut tidak dapat disatukan,” jelas dia.

Agus bahkan meyakini, usulan tersebut akan melibas produksi hasil pertanian tembakau nasional. "Sebab, produksi SKM yang merupakan penyerap bahan baku tembakau nasional tidak akan mampu bersaing di pasaran dengan SPM yang sudah memiliki brand nasional,” tegasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Firman Soebagyo memastikan berbagai kebijakan terkait cukai rokok masih tetap ditunda implementasinya, setidaknya sampai tahun politik berakhir.

Ketua Pansus RUU Pertembakauan ini mengatakan, selain membatalkan kenaikan cukai rokok pada 2019, pemerintah juga telah menunda penerapan kebijakan terkait penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai rokok, juga rencana menggabungkan volume produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dbengan Sigaret Putih Mesin (SPM).

”Tidak ada unsur politis di balik penundaan itu. Yang pasti, kita semua sedang sibuk dengan pemilu. Lagi pula, penetapan tarif cukai rokok merupakan domain pemerintah, bukan domain DPR. DPR hanya melakukan kajian saja,” tandas dia.

 

Tanggapan TKN soal Cukai Rokok

Bungkus Rokok atau Kemasan Rokok
Ilustrasi Foto Kemasan Rokok (iStockphoto)

Anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi Maruf, Hasbullah Thabrany mengatakan, cukai rokok di Indonesia saat ini masih terlalu rendah.

Oleh karena itu, ia menuturkan, jika kembali terpilih, pemerintahan Jokowi akan menaikkan cukai rokok.

"Jika kita melihat best practice di seluruh dunia, cukai rokok di Indonesia masih terlalu rendah. Di Singapura cukai rokok adalah 90 persen dari harga rokok, jadi pasti akan naik, industri juga tahu akan naik," kata Hasbullah di Kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (9/3/2019).

Kendati demikian, Hasbullah mengatakan besaran peningkatan cukai di masa mendatang belum dihitung lebih lanjut. Namun, ia menuturkan, target kenaikan itu di atas besaran cukai rokok yang sekarang yaitu 57 persen.

Hasbullah mengatakan, sebagai akademisi di Universitas Indonesia, pihaknya telah menyusun rancangan Undang-Undang (UU) cukai baru. Dalam draft tersebut, kata dia, ada tambahan penerimaan cukai dan penggunaan cukai untuk memperkuat petani tembakau dan pekerja rokok.

Itu, karena dia melihat, suatu hari dan sekarang industri rokok ini di seluruh dunia mengalami apa yang disebut sunset industri atau hampir punah.

"Karena itu kami sedang bersiap untuk mengeksplorasi sumber cukai lainnya. Kami sudah menyiapkan dan share Kementerian Keuangan," ujar dia.

Lebih lanjut Hasbullah mengatakan, Jokowi sejak awal pemerintahan telah berulang kali mengatakan untuk tidak merokok atau tidak menggunakan uang untuk merokok. Dia menganggap rokok, masalah multi-sektoral, bukan hanya kesehatan.

"Ada masalah sosial, ekonomi, dan bahkan agama, sehingga mereka cukup kompleks. Tapi kami akan bergerak untuk menyesuaikan dengan kondisi dalam tujuan yang sama. Yang paling penting adalah membangun visi bersama, bahwa ini adalah tantangan kita bersama," ujar dia.

 

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya