Liputan6.com, Jakarta Pembatasan zona berjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dianggap tidak efektif. Dibandingkan dengan aturan restriktif, kampanye edukasi dianggap sebagai upaya lebih konkret untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menyatakan bahwa pemerintah sebaiknya melakukan pendekatan yang lebih utuh, seperti mendorong upaya edukasi dibandingkan dengan pembatasan yang terlalu ketat.
Baca Juga
Menurutnya, edukasi yang tepat dapat memberi dampak positif yang lebih luas karena tidak hanya mengatasi gejala-gejala yang dapat timbul, tetapi juga membangun kesadaran risiko akibat merokok. Henry mengatakan komitmen edukasi sudah dijalankan oleh perusahaan dengan patuh, bahkan sejak peraturan sebelumnya yaitu PP Nomor 109 Tahun 2012 diberlakukan.
Advertisement
“Kepatuhan terhadap aturan itu menunjukkan bagian dari komitmen edukasi soal risiko merokok. Ditambah lagi, saat ini kami melakukan edukasi serta pemasangan stiker 21+ di warung atau toko penjual rokok secara masif,” tambahnya.
Namun, dalam menjalankan edukasi pun perlu melibatkan institusi seperti para pengajar di satuan pendidikan. Upaya ini perlu dilakukan untuk pemahaman akan risiko merokok pada anak di bawah umur 21 tahun.
"Dengan pendekatan yang komprehensif, kami percaya bahwa upaya menekan prevalensi perokok dapat dilakukan tanpa mengorbankan nasib para pedagang," ujarnya.
Henry menyayangkan kenyataan yang terjadi saat ini, justru saat ini gencar mendorong aturan pelarangan dan pembatasan penjualan rokok, seperti pengaturan terkait larangan penjualan 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Aturan ini justru membuat pelaku usaha kebingungan dan berpotensi mengganggu kelangsungan usaha. Henry juga mengatakan, aturan ini akan berdampak luas pada ekosistem industri hasil tembakau (IHT) yang telah terbangun puluhan tahun.
"Banyak tempat penjualan yang menyatu dengan satuan pendidikan seperti di mall tiba-tiba harus berubah. Ini akan menimbulkan gejolak ekonomi," sebut dia.
Objek Pengaturan
Dia berharap ada dialog yang terbuka dengan melibatkan semua pihak, termasuk asosiasi industri, pedagang, dan petani dalam pembuatan kebijakan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa regulasi yang diterapkan tidak merugikan pihak yang menjadi objek pengaturan. "Kami meminta pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pengaturan tersebut," tambahnya.
Sebab, lanjutnya, IHT memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam menciptakan lapangan kerja bagi 5,8 juta tenaga kerja dari hulu ke hilir. Dari petani tembakau dan cengkeh, tenaga kerja di produksi, pedagang dan industri pendukung lainnya menjadi mata rantai pertembakauan yang dapat terdampak.
Pemerintah diharapkan dapat mendukung upaya perlindungan terhadap petani tembakau, pedagang, dan industri dengan tidak membuat kebijakan yang merugikan kepentingan nasional.
"Kami akan terus melakukan upaya untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak merugikan IHT. Kami berharap, pemerintah mendengar dan membuat kebijakan yang adil kepada semua pihak yang terlibat dari IHT," pungkasnya.
Advertisement
Aturan Baru Larangan Penjualan Rokok Disusun, Pengusaha Waswas
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah merancang Peraturan Presiden (Perpres) yang akan mengatur lebih detil larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes, Benget Saragih, mengungkapkan bahwa Kemenkes sedang menyiapkan draft peraturan baru selain Rancangan Permenkes, yaitu Rancangan Perpres.
Kebijakan itu akan lebih mendetailkan cara Kementerian Perdagangan mengawasi pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
“Untuk itu kita membutuhkan aturan turunan. Kemenkes sedang menyiapkan Perpres yang diharmonisasi dengan K/L. Jadi nanti Kementerian Perdagangan mengatur tentang penjualan 200 meter, artinya harus ada mekanismenya," kata Benget beberapa waktu lalu.
Rancangan Perpres ini disinyalir akan menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang sebelumnya telah mengatur zonasi penjualan dan iklan produk tembakau.
Namun, kehadiran Rancangan Perpres ini menimbulkan kekhawatiran baru bagi sektor ritel, yang sudah tertekan dengan aturan zonasi dan wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.
Beratkan Pelaku Usaha
Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo) Anang Zunaedi menyatakan, Rancangan Perpres ini berpotensi memberatkan pelaku usaha.
"Banyak toko yang sudah berdiri sebelum adanya fasilitas pendidikan atau tempat bermain. Kalau dipaksakan, ini akan sangat memberatkan," kata Anang, Jumat (28/3/2025).
Anang juga mengkhawatirkan dampak ekonomi yang lebih luas. Pasalnya, penjualan rokok menyumbang sekitar 40 persen omset pelaku UMKM. Jika dilarang, kebijakan ini diklaim bisa mematikan usaha kecil.
Sementara itu, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS) Ali Mahsun Atmo menyatakan, dirinya belum mendengar tentang Rancangan Perpres tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan ini tidak perlu diterapkan.
"PP 28/2024 saja sudah kontroversial dan banyak ditentang. Apalagi jika ada Perpres baru, ini pasti akan menimbulkan polemik lebih besar," pintanya secara terpisah.
Advertisement
