Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) teken perjanjian penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial (SBK) (dahulu disebut Commercial Paper) dengan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada Jumat (17/5/2019) .
Kerja sama tersebut bertujuan untuk mengakselerasi penerbitan dan transaksi instrumen SBK sebagai sumber pendanaan jangka pendek non perbankan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo menyebutkan, upaya ini juga konsisten dalam mendorong permintaan domestik.
Advertisement
"Penandatanganan ini menandai bahwa infrastruktur pasar SBK telah lengkap dan siap untuk dioperasionalkan guna melayani penerbitan dan transaksi SBK," kata Dody, di Gedung BI, Jakarta, Jumat (17/5/2019).
Baca Juga
Dia menuturkan, BI mengharapkan, dengan telah siapnya berbagai ketentuan dan infrastruktur pendukung, SBK dapat berperan penting sebagai salah satu alternatif pendanaan jangka pendek bagi korporasi non bank dan sebagai instrumen pasar uang yang menarik bagi investor.
Adapaun kelengkapan infrastruktur SBK di antaranya adalah peraturan (Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur) yang sudah diterbitkan mencakup pengaturan SBK dan lembaga pendukung pasar.
Saat ini, telah terdaftar di Bank Indonesia 3 penatalaksana/arranger, 2 lembaga pemeringkat, 46 konsultan hukum, 84 akuntan publik, 5 notaris, 4 perantara/brokers, 15 kustodian, dan PT. KSEI sebagai Sentral Kustodian.
Penunjukan KSEI sebagai lembaga penyimpanan dan penyelesaian transaksi SBK oleh Bank Indonesia merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan tata kelola dalam penerbitan maupun transaksi khususnya terkait pencatatan, penatausahaan dan penyelesaian transaksi SBK yang dilakukan secara scripless (tanpa warkat).
"Ke depan, Bank Indonesia akan terus berupaya untuk mengembangkan pasar Surat Berharga Komersial melalui edukasi kepada potensial issuer dan program sosialisasi. Bank Indonesia akan berkoordinasi dengan OJK untuk melakukan harmonisasi regulasi, khususnya regulasi yang mengatur lembaga-lembaga jasa keuangan yang dapat memanfaatkan SBK sebagai alternatif pendanaan jangka pendek dan juga sebagai investasi," ujar dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
BI: Kondisi Global Pengaruhi Neraca Perdagangan
Sebelumnya, neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 tercatat defisit USD 2,50 miliar. Defisit neraca perdagangan tersebut bersumber dari defisit neraca perdagangan nonmigas dan neraca perdagangan migas.
Dengan perkembangan tersebut, neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif Januari-April 2019 mengalami defisit sebesar USD 2,56 miliar. Defisit neraca perdagangan nonmigas pada April 2019 tercatat sebesar USD 1,01 miliar, setelah pada Maret 2019 mencatat surplus USD 1,05 miliar.
"Bank Indonesia memandang perkembangan neraca perdagangan April 2019 banyak dipengaruhi pertumbuhan ekonomi global yang melambat dan harga komoditas ekspor Indonesia yang menurun, yang pada gilirannya menurunkan kinerja ekspor Indonesia," jelas Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko, Kamis, 16 Mei 2019.
Kondisi tersebut dipengaruhi penurunan ekspor nonmigas dari USD 12,98 miliar pada Maret 2019 menjadi USD 11,86 miliar. Penurunan ekspor nonmigas terutama terjadi pada komponen perhiasan/permata, lemak dan minyak hewani/nabati, serta bahan bakar mineral.
Sementara itu, impor nonmigas tercatat sebesar USD 12,86 miliar, meningkat USD 0,93 miliar (mtm) dibandingkan dengan impor pada bulan sebelumnya.
Peningkatan impor nonmigas terutama terjadi pada komponen mesin dan peralatan listrik, kapal laut dan bangunan terapung, dan pupuk.
Defisit neraca perdagangan migas pada April 2019 tercatat sebesar USD 1,49 miliar, meningkat dibandingkan dengan defisit pada bulan sebelumnya sebesar USD 0,38 miliar.
Defisit tersebut dipengaruhi peningkatan impor migas dari USD 1,52 miliar pada Maret 2019 menjadi USD 2,24 miliar pada April 2019.
Peningkatan terjadi pada seluruh komponen, yakni hasil minyak, minyak mentah, dan gas, seiring dengan peningkatan baik harga impor maupun volume impor minyak dan gas.
Sementara itu, ekspor migas tercatat menurun dari USD 1,14 miliar pada Maret 2019 menjadi USD 0,74 miliar pada April 2019. Penurunan ekspor migas terutama terjadi pada komponen hasil minyak dan gas, sejalan dengan menurunnya volume ekspor kedua komponen tersebut.
"Sementara itu, impor tetap diperlukan guna memenuhi pemintaan domestik. Ke depan, Bank Indonesia dan Pemerintah akan terus berkoordinasi mencermati perkembangan ekonomi global dan domestik sehingga tetap dapat memperkuat stabilitas eksternal, termasuk prospek kinerja neraca perdagangan," dia menandaskan.
Advertisement
Ekonomi Global Memanas, BI Revisi Prediksi Defisit Transaksi Berjalan
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) merevisi perkiraan defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit/CAD) tahun 2019 dari semula 2,5 persen menjadi 2,5 - 3,0 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Gubernur BI, Perry Warjiyo menegaskan meskipun tidak serendah prakiraan semula, sinergi kebijakan Bank Indonesia, pemerintah dan Otoritas terkait akan terus diperkuat guna meningkatkan ketahanan eksternal.
Dia mengungkapkan, salah satu pemicu revisi perkiraan defisit tersebut adalah kondisi perekonomian global yang melambat serta kondisi saat ini yang dinilai kian memanas. Terutama setelah berlanjutnya ketegangan perang dagang atau trade war antara Amerika Serikat (AS) dengan China.
"Bagaimanapun juga seluruh dunia itu tidak bisa menapikan bahwa perlambatan ekonomi dunia dan perang dagang itu berdampak pada seluruh negara," kata dia di kantornya, Kamis, 16 Mei 2019.
Kondisi tersebut, lanjutnya, membuat hampir semua negara akan semakin kesulitan mendongkrak pertumbuhan ekspor negaranya. Oleh karen itulah BI melakukan revisi prakiraan defisit CAD tersebut. "Karena sumber pertumbuhan ekspor itu semakin sulit untuk dijadikan andalan," ujarnya.
"Itulah kenapa kami melakukan revisi transaksi CAD," dia menambahkan.
Sementara itu, beberapa upaya yang telah dilakukan BI bersama pemerintah dalam hal menjaga stabilitas defisit CAD selama ini dinilai sudah cukup kelihatan hasil positifnya, Meski pengaruhnya belum terlalu dirasakan.
Upaya tersebut diantaranya penggunaan B20, kebijakan pengenaan bea masuk untuk menekan impor, penghentian sementara proyek infrastruktur yang memiliki kandungan impor bahan baku cukup tinggi serta kebijakan lainnya yang bertujuan menjaga kestabilan neraca perdagangan.
"Langkah-langkah itulah yang kemudian juga untuk menghindari defisit transkai yang lebih tinggi. Dari berbagai faktor ini dan dengan semakin melambatnya ekonomi global tadi kami menyampaikan berdasarkan prakiraan terkini, defisit transaksi berjalan di tahun 2019 kisarannya adalah 2,5 - 3,00 persen terhadap PDB. Memang sebelumnya kami perkirakan dan mengupayakan defisit ke arah 2,5 persen dari PDB," ujar dia.