Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) memproyeksikan Bank Indonesia (BI) memiliki ruang untuk melonggarkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate pada 2019 dan 2020.
Direktur Manajemen Risiko PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), Ahmad Siddik Badruddin menyebutkan, pihaknya memperkirakan BI memangkas suku bunga acuannya sebesar 75 basis point (bps) hingga akhir tahun 2020.
"Forecast kami untuk BI rate menurut hasil riset oleh chief economist, untuk akhir tahun bisa turun 25 bps dan di 2020 akan turun 50 bps. Itu akan terus kita evaluasi dari bisnis strategi kita," kata dia saat ditemui di kantornya, Senin (29/4/2019).
Advertisement
Baca Juga
Dia mengungkapkan, penurunan itu tentunya dengan mempertimbangkan beberapa faktor. Di antaranya selisih bunga instrumen keuangan (differential interest rate) di emerging market atau negara berkembang dengan obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun, permintaan komoditas dari Indonesia di pasar global, hingga perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Kendati demikian, Siddik menilai penurunan suku bunga acuan BI akan memberikan nilai positif terhadap pekembangan bisnis pelaku usaha nasional.
"Penurunan suku bunga akan berdampak positif terhadap beban pelaku usaha dan dalam ekspansi usaha," ujar dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Indef: Kebijakan BI Tahan Suku Bunga Kurang Tepat
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk tetap mempertahankan bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate di level 6 persen. Bunga acuan ini bertahan di posisi 6 persen sejak 15 Nopember 2018.
ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Dzulfian Syafrian berpendapat, kebijakan yang dijalankan oleh BI tersebut kurang tepat. Ini mengingat perkembangan perekonomian nasional dan global dalam 6 bulan belakangan, seperti inflasi yang terkendali sangat baik dan rendah.
"Rupiah secara umum juga terus menguat. Rupiah menguat tidak hanya terhadap dolar AS (USD), tapi juga terhadap mata uang lainnya seperti euro, yen Jepang, dan pound sterling Inggris," jelas dia, Jumat, 26 April 2019.
Pertimbangan lainnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga terus menguat tajam, pertanda kepercayaan investor sudah mulai pulih terhadap investasi di Indonesia. Negara tidak lagi dianggap rentan, khususnya terhadap krisis moneter atau mata uang seperti tahun lalu.
"Hal ini juga didukung oleh data, menurunnya imbal hasil surat utang jangka panjang (tenor 10 tahun) yang berarti risiko perekonomian kita sudah menurun dibanding sebelumnya," jelas Dzulfian.
Selain itu, ia memprediksi perekonomian dunia juga masih akan melambat dibandingkan ekspektasi sebelumnya. "Hal ini juga telah dibahas khusus di pertemuan World Bank Group meeting 2 minggu lalu di Washington DC. Yang berarti, ancaman arus modal keluar ke luar negeri akan mereda dibanding tahun lalu," sambungnya.
"Selama 2018, memang rupiah babak belur dan menyentuh level terendahnya dalam beberapa tahun belakangan, namun masa itu sudah lewat. 2019 tidak akan seperti itu," dia menambahkan.
Oleh karenanya, ia menyimpulkan, keputusan BI yang masih mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate di angka 6 persen belum sesuai. "Singkat kata, menurut saya kebijakan mempertahankan suku bunga BI ini kurang tepat," tandasnya.
Advertisement
BI Tahan 7-day Reverse Repo Rate di Level 6 Persen
Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang berlangsung pada 24 dan 25 April 2019 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 6 persen.
"Sedangkan untuk suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25 persen dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen," jelas Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo di Jakarta, Kamis, 25 April 2019.
Ia menjelaskan, keputusan tersebut sejalan dengan upaya memperkuat stabilitas eksternal perekonomian Indonesia.
Sementara itu, untuk mendorong permintaan domestik Bank Indonesia memperluas kebijakan yang lebih akomodatif antara lain dengan:
- Meningkatkan ketersediaan likuiditas dan mendukung pendalaman pasar keuangan melalui penguatan strategi operasi moneter
- Mendorong efisiensi pembayaran ritel melalui perluasan layanan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia/SKNBI (penambahan waktu dan percepatan setelmen, peningkatan batas nominal transaksi, dan penurunan tarif)
- Mendorong sisi supply transaksi Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), khususnya melalui penyederhanaan ketentuan kewajiban underlying transaksi
- Mendorong implementasi penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di pasar uang dan pasar valas (market operator)
- Mengembangkan pasar Surat Berharga Komersial (SBK) sebagai alternatif sumber pendanaan jangka pendek oleh korporasi
- Mendorong perluasan elektronifikasi bansos non tunai, dana desa, moda transportasi, dan operasi keuangan pemerintah.
Koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait juga terus dipererat guna mempertahankan stabilitas ekonomi, khususnya dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan, serta menjaga momentum pertumbuhan ekonomi ke depan, khususnya dalam memperkuat permintaan domestik dan mendorong ekspor, pariwisata dan aliran modal asing.