Faktor Ini Bikin BPJS Kesehatan Hadapi Defisit

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 9,1 triliun pada 2018.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Mei 2019, 23:05 WIB
Diterbitkan 27 Mei 2019, 23:05 WIB
BPJS Kesehatan
Verifikasi digital klaim BPJS Kesehatan sudah diterapkan RSUP Dr Sardjito Yogyakarta sejak 14 Maret 2018. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan atau BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 9,1 triliun pada 2018.

Angka tersebut diperoleh usai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit kinerja terhadap lembaga tersebut. 

Lantas, bisakah BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit?

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris mengatakan, BPJS kesehatan tidak bisa terbebas dari defisit kecuali pemerintah melalukan intervensi-intervensi khusus.

"Pasti ada defisit dalam program ini kecuali ada intervensi lain," ujar dia di Gedung DPR, Jakarta, Senin (27/5/2019).

Fahmi mengatakan, semakin banyak peserta BPJS Kesehatan tidak menjamin iuran yang dibayarkan cukup untuk menambal beban perusahaan. Sebab, tidak semua peserta akan membayar iuran sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. 

"Seringkali kita berpikir kalau peserta bertambah defisit dapat teratasi. Tapi dari data historis kita, ternyata biaya malah bertambah," ujar dia. 

Lebih lanjut, dia manambahkan, defisit seringkali terjadi karena BPJS Kesehatan banyak menutup biaya pasien dengan penyakit kronis.

"Besarnya biaya pelayanan kesehatan disebabkan antara lain profit morbiditas penduduk yang banyak menderita penyakit katastropik. Golongan penyakit katastropik antara lain jantung, gagal ginjal, kanker, stroke dan leukemia," tandasnya. 

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Defisit BPJS Kesehatan Rp 9,1 Triliun hingga Desember 2018

BPJS Kesehatan
Warga Indonesia sedang melihatkan kartu BPJS Kesehatan

Sebelumnya, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Ardan Adiperdana memaparkan, hasil audit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sepanjang 2018.

Dari hasil audit ditemukan, gagal bayar atau defisit yang ditanggung oleh perusahaan hingga 31 Desember 2018 sebesar Rp 9,1 triliun. 

"Posisi gagal bayar sampai 31 Desember adalah sebesar Rp 9,1 triliun," ujar Ardan saat memberikan keterangan dalam rapat terbuka dengan pemerintah dan DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 27 Mei 2019.

Ardan melanjutkan, biaya yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sepanjang 2018 adalah sebesar Rp 19,22 triliun. Jumlah tersebut sudah mengcover peserta sebanyak 208 juta dengan 6 segmen kepesertaan. 

"Asersi BPJS dengan audit tujuan tertentu. Terdiri dari laporan arus kas dan posisi keuangan 2018. Bagaimana pendapatan dan beban. Semua asersi BPJS kesehatan didasarkan pada jumlah peserta sekitar 208 juta terdiri dari 6 segmen," paparnya. 

Ardan menambahkan, sepanjang 2018 BPJS Kesehatan memiliki kantor cabang dan pusat sebanyak 126 kantor di 34 provinsi. Hasil audit seluruh daerah tersebut dilakukan oleh 1.800 auditor.

"Ada 126 cabang dan kantor pusat BPJS. RS masih 30 persen. Kami menurunkan lebih dari 1.800 auditor di 34 provinsi," tandasnya.  

Sri Mulyani: Ada Warga Mampu Beli Rokok, Sulit Bayar Iuran Kesehatan

20160929- Menkeu dan Komisi XI Evaluasi Pelaksanaan Tax Amnesty-Jakarta- Johan Tallo
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (29/9). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menghadiri rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai hasil audit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Dalam rapat tersebut, dia menyoroti kinerja BPJS terkini.Sri Mulyani mengatakan, saat ini dibutuhkan upaya untuk membuat jaminan kesehatan nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan tepat sasaran dan berkesinambungan.

Salah satunya melalui edukasi kepada masyarakat, sebab terkadang masyarakat lebih mudah mengeluarkan uang untuk rokok daripada membayar iuran kesehatan. 

"Seringkali masyarakat menghabiskan uangnya justru untuk membeli rokok. Mereka mampu membeli rokok, tapi sulit untuk membayar iuran kesehatan. Untuk itu, edukasi mengenai pentingnya jaminan kesehatan ini perlu dilakukan," ujar dia di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 27 Mei 2019. 

Dia melanjutkan, dalam mendorong penyaluran JKN yang tepat sasaran dan berkesinambungan setidaknya dibutuhkan tiga hal. Pertama mengenai pelayanan yang harus diberikan, kedua iuran uang terjangkau tapi adil bagi perushaan dan ketiga kesinambungan program harus terjamin. 

"Jadi, untuk kami agar jaminan kesehatan nasional ini bisa suitable dan berkesinambungan agar kita bisa mengangkat 3 isu ini. Pertama, seluruh peserta ingin manfaat yang sangat layak. Kedua, dengan iuran yang terjangkau dan ketiga menjamin program yang berkesinambungan," ujar dia.

Sementara itu, dari sisi kesinambungan pemberian JKN memerlukan promosi yang lebih banyak kepada masyarakat. Selain itu, dari sisi internal dibutuhkan perbaikan kualitas layanan agar masyarakat sebagai pembayar iuran mendapat hak semestinya.

"Keberlangsungan program JKN harus diikuti program promotif, perbaikan kualitas layanan, peningkatan supply side (faskes dan tenaga Kesehatan). Membutuhkan peningkatan peranan pemda, besaran iuran dan tarif layanan yang sesuai atau memadai serta efesiensi biaya layanan," tandasnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya