Liputan6.com, Jakarta - International Finance Corporation (IFC) selaku anggota dari Kelompok Bank Dunia (World Bank) menilai, kehadiran perempuan dalam jajaran direksi di sebuah perusahaan memiliki peran penting terhadap kesuksesan korporasi.
Senior Country Officer IFC Indonesia, Jack Sidik mengemukakan, perusahaan-perusahaan dengan lebih banyak perempuan dalam keanggotaan dewannya menunjukkan kinerja keuangan yang lebih baik.
Namun, ia mencermati, partisipasi perempuan di level manajemen sangat kurang di Indonesia jika dibanding dengan negara ASEAN lain.
Advertisement
"Dalam research yang kita lakukan ini, sudah menunjukan bahwa lebih banyak perempuan di senior management dan di board level, itu banyak sekali benefit-nya kepada perusahaan itu sendiri. Dan menurut kita, dengan lebih banyaknya partisipasi perempuan, bukan hanya baik buat perusahaan, tapi juga buat negara Indonesia," tutur dia di Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Baca Juga
Menurut penelitian IFC berjudul Keanekaragaman Gender Dewan Perusahaan di ASEAN, perusahaan yang memiliki lebih dari 30 persen anggota dewan perempuan melaporkan rata-rata Tingkat Pengembalian Aset atau Return of Assets (ROA) sebesar 3,8 persen.
Itu lebih besar dari perusahaan yang tidak memiliki anggota dewan perempuan, dengan ROA sebesar 2,4 persen.
Demikian pula dengan Rasio Pengembalian Ekuitas atau Return of Equity (ROE), perusahaan-perusahaan yang memiliki lebih dari 30 persen anggota dewan perempuan melaporkan rata-rata ROE sebesar 6,2 persen.
Sedangkan perusahaan-perusahaan yang memiliki dewannya hanya beranggotakan pria hanya melaporkan ROE sebesar 4,2 persen.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Penelitian Survei Lebih dari 1.000 Perusahaan
Penelitian ini mensurvei lebih dari 1.000 perusahaan yang berada di Cina dan enam negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yakni Indonesia, Malaysia. Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Thailand memiliki keragaman gender terbesar, dimana perempuan memegang sekitar 20 persen kursi dewan di perusahaan terbuka. Diikuti oleh Indonesia dan Vietnam, dimana keduanya sekitar 15 persen.
Di antara perusahaan-perusahaan ASEAN yang disurvei, hampir 40 persen tidak memiliki anggota dewan perempuan dan hanya 16 persen yang memiliki lebih dari 30 persen perwakilan perempuan di dewan.
Dalam hal keterwakilan perempuan di dewan, Indonesia setara dengan rata-rata ASEAN (14,9 persen). Namun, Indonesia tertinggal dalam hal jumlah jumlah perempuan yang menduduki posisi manajemen senior (18,4 persen), jauh di bawah rata-rata ASEAN yaitu 25.2 persen.
Di Indonesia, menurut penelitian ini, tiga industri teratas yang memiliki persentase jumlah anggota dewan perempuan tertinggi yakni bidang perindustrian (26 persen), real estate (20 persen), dan kebutuhan pokok konsumer (15 persen).
Lebih lanjut, Jack Sidik mengatakan, dengan memanfaatkan potensi besar yang dimiliki oleh para perempuan dalam dunia bisnis, perusahaan-perusahaan ASEAN dapat menjadi lebih kuat, berkelanjutan, dan lebih menarik bagi investor.
"Nantinya, perusahaan-perusahaan ini akan membantu tercapainya pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, meneruskan lompatan kemajuan di kawasan yang selama beberapa dekade terakhir ini telah membawa jutaan orang keluar dari kemiskinan," ujar dia.
Advertisement
IFC Terbitkan Komodo Bond Rp 2 Triliun
Sebelumnya, IFC yang merupakan lembaga anggota Bank Dunia menerbitkan Obligasi Hijau Komodo atau Komodo Bond senilai Rp 2 triliun atau sekitar USD 134 miliar. Obligasi dalam rupiah ini diterbitkan dalam rangka investasi pada proyek yang terfokus pada iklim di Indonesia.
Mengutip dari keterangn IFC, Senin 8 Oktober 2018, obligasi hijau minat investor terhadap Obligasi Hijau Komodo dinilai merupakan bukti berkembangnya keinginan terhadap investasi yang bertanggung jawab sosial di Indonesia.
"Penerbitan Obligasi Hijau Komodo dari IFC menggarisbawahi komitmen kami untuk mendukung Indonesia dalam meraih pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan hidup," ujar Wakil Presiden IFC untuk Asia dan Pasitif Nena Stoiljkovic.
Dia mengatakan Obligasi ini dapat memobilisasi pendanaan internasional pada proyek yang ramah iklim di Indonesia.
"Dan kami berniat untuk memperbanyak dan meningkatkan model ini untuk menghadapi tantangan iklim di negara ini," lanjut dia.
Obligasi hijau berjangka lima tahun ini akan dicatatkan pada London Stock Exchange dan Singapore Stock Exchange. Hal ini dipastikan akan mendukung pasar mata uang di Indonesia.
Obligasi ini diterbitkan di Indonesia oleh klien IFC, Bank OCBC NISP. Selanjutnya, dana akan dipakai untuk proyek-proyek terkait infrastruktur dan iklim, sesuai dengan Prinsip Obligasi Hijau.
Sampai berakhirnya tahun fiskal 2019 pada Juni, IFC sudah menerbitkan 32 obligasi hijau dengan total USD 1,8 triliun, dan menghasilkan 52 proyek. Angka tersebut tumbuh dari tahun fiskal 2017, yakni 32 proyek.
Sambutan positif para investor turut diperhatikan oleh pihak dari JP Morgan dan Standard Chartered Bank.
"Investor memberi reaksi positif pada debut transaksi Komodo (dalam rupiah Indonesia), dengan penerbitan Eurobond menarik lebih banyak permintaan dari yang awalnya diperkirakan," ujar John Lee Tin, Head of SSA DCM, J. P. Morgan.
Dia menambahkan, melihat kondisi pasar negara berkembang yang sedang volatile, oversubscription yang terjadi pada obligasi tersebut merupakan sukses besar.
Sementara, pihak Standard Chartered Bank turut mendukung adanya obligasi hijau seperti Komodo. "Standard Chartered berkomitmen pada pertumbuhan solusi finansial yang lebih efisien karbon dalam jejak pasar kami, dan kami bangga bisa bermitra dengan IFC dalam penerbitan monumental ini," ujar Henrik Raber, Global Head, Credit Markets, Standard Chartered Bank.
Pada 2018 ini, Proyek hijau dari obligasi hijau IFC ditargetkan mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 6,3 juta metric ton setara karbon diokisda per tahun. Target itu naik dari tahun 2017, yakni 2,2 juta metrik ton.