Beroperasi 31 Tahun, Begini Kondisi PLTA Cirata

PLTA Cirata memiliki peran pemikul beban puncak sistem Jawa Bali.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 07 Jul 2019, 17:30 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2019, 17:30 WIB
PLTA Cirata
PLTA Cirata memanfaatkan aliran sungai Cirata yang dibendung (Liputan6.com/Pebrianto Eko Wicaksono)

Liputan6.com, Jakarta - PT PLN (Persero) telah mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata selama 31 tahun, infrastruktur kelistrikan tersebut memanfaatkan aliran sungai Cirata yang dibendung.

Manager Keuangan UP Cirata, Priyono ‎mengatakan, PLTA Cirata memiliki total kapasitas 1.008 MW dibangun pada 1983 dan beroperasi komersial pada 1988 sebanyak empat unit, dua unit beroperasi pada 1997 dan dua unit beroperasi pada 1998.

"8 unit pembangkit kapasitas 1008 MW. masing-masing satu unit 126 MW,"‎ kata Priyono, di PLTA Cirata, Minggu (7/7/2019).

‎Meski sudah tidak masuk dalam pembangkit baru lagi, ‎PLTA yang digerakan oleh air Bendungan Cirata ini masih memiliki peran besar dalam sistem kelistrikan Jawa Bali.

Priyono mengungkapkan, PLTA Cirata memiliki fasilitas khusus Automatic Generation Control dan Black Start untuk line charging. Fasilitas ini membuat pasokan listrik dari PLTA Cirata bisa cepat masuk ke sistem interkoneksi Jawa-Bali.

"Cirata bisa suplai listrik cepat sekitar 5-6 menit karena punya line charging ke sistem Jawa Bali," ‎tutur Priyono

Priyono melanjutkan, PLTA Cirata memiliki peran pemikul beban puncak sistem Jawa Bali, sehingga saat konsumsi listrik meningkat maka PLTA yang terletak di Kabupaten Purwakarta inilah menjadi salah satu andalannya untu memenuhi kebutuhan listrik.

"PLTA Memiliki peran strategis, di sistem Jawa Bali sebagai pengendali frekuensip ada sistem 500 kv dan‎ penyangga beban puncak," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Tetapkan Tarif Listrik, PLN Ikuti Kata Pemerintah

PLN Jamin Pasokan Listrik Debat Capres
Teknisi mengecek Power Bank dan Mobile UPS penyuplai listrik di Hotel Sultan, Jakarta, (15/2). Pemasangan alat yang disediakan PLN itu untuk penyuplai pasokan listrik acara debat capres dan cawspres kedua pada Minggu besok. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

PT PLN (Persero) akan mengikuti regulasi yang ditetapkan pemerintah dalam menetapkan Tarif Tenaga Listrik (TTL). 

Plt. Executive Vice President Corporate Communication & CSR Dwi Suryo Abdullah mengatakan, sebagai perusahaan penyedia listrik negara, pasokan listrik kepada masyarakat menjadi prioritas utama PLN.

Selain kehandalan sistem, sisi ekonomi juga sangat diperhatikan, hal ini demi ketersediaan listrik yang terjangkau bagi masyarakat yang diwujudkan dalam Tarif Tenaga Listrik (TTL) yang tidak pernah mengalami kenaikan sejak 2015, bahkan mengalami penurunan dan tetap sejak 1 Januari 2017.

"Hal ini dilakukan untuk mendukung daya saing produk industri dan manufaktur sehingga memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional," kata Dwi, di Jakarta, Rabu (3/7/2019). 

Sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Pasal 34 ayat 1, tentang kewenangan pemerintah dalam menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan DPR RI. Penetapan tarif tenaga listrik dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan harus mendapat persetujuan dari DPR.

"Selanjutnya PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan mengikuti semua regulasi dan ketetapan yang diambil Pemerintah," tuturnya.

Penetapan Tarif Tenaga Listrik yang diatur oleh Pemerintah, dikenal dengan Tarif Adjusment (TA) baik untuk golongan tarif nonsubsidi maupun subsidi dihitung berdasarkan tiga hal, yaitu kurs dolar AS, inflasi dan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP).

Dalam menentukan tarif, pemerintah sangat memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat, sehingga dimungkinkan hingga akhir tahun 2019 tidak ada kenaikan tarif.

"Dalam upaya turut serta berkontribusi dalam penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar US$, maka mari kita menggunakan produk dalam negeri sehingga kurs Rupiah menguat yang nantinya akan mampu mendorong tarif listrik untuk turun," pungkas Dwi.

PLN Ubah Sampah Menjadi Energi Primer Pada Pembangkit Listrik

PT PLN (Persero) melalui anak usahanya, PT Indonesia Power Unit Pembangkitan (UP) Bali, mengolah limbah sampah menjadi bahan bakar untuk pembangkit listrik. Langkah ini untuk membantu mengurangi sampah di Kabupaten Klungkung, Bali.
PT PLN (Persero) melalui anak usahanya, PT Indonesia Power Unit Pembangkitan (UP) Bali, mengolah limbah sampah menjadi bahan bakar untuk pembangkit listrik. Langkah ini untuk membantu mengurangi sampah di Kabupaten Klungkung, Bali.

Pembangkit listrik tenaga diesel dan gas (PLTDG) Pesanggaran merupakan salah satu pemasok listrik Bali. PLN UID Bali menargetkan pertumbuhan kelistrikan mencapai 6 persen pada tahun 2019.

Pembangkit berkapasitas 334 megawatt ini dikelola PT Indonesia Power, yang merupakan anak usaha PLN. Pada tahun 2018 lalu PLTDG Pesanggaran berhasil memperoleh PROPER Emas dari Kementerian lingkungan hidup dan kehutanan.

Indonesia Power memperoleh PROPER Emas karena mengedepankan aspek continuous improvement dan inovasi dalam segala hal sehingga melebihi dari yang dipersyaratkan oleh pemerintah.

Program unggulan CSR PLTDG Pesanggaran menjadi salah satu upaya terbaik dalam peraihan penghargaan tersebut. Program unggulan CSR Indonesia Power adalah program TOSS (Tempat Olah Sampah Setempat) yang memberdayakan masyarakat sekitar untuk mengolah sampah menjadi “pellet” yang bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar kompor untuk memasak. Bahkan saat ini pelet sudah mulai dimanfaatkan untuk campuran batubara low rank sebagai energi primer pembangkit listrik.

Selain dimanfaatkan untuk pembangkit di Bali, sejumlah pelet saat ini juga telah dikirim ke PLTU Jerangjang Lombok, sebagai upaya untuk memanfaatkan sampah sebagai campuran batubara pada PLTU Jeranjang sehingga bisa menurunkan BPP disamping mampu pengatasi permasalahan sampah berapapun volumenya di Kabupaten Klungkung.

PLN menargetkan penggunaan pelet untuk campuran batu bara di PLTU Jeranjang bisa mencapai 5 persen dari kebutuhan total batubara PLTU. Penggunaan pelet diakui lebih murah dibandingkan batu bara. Sebagai gambaran, harga batu bara per kg mencapai Rp 700. Sedangkan untuk harga pelet hanya Rp 300 per kg.

"Saat ini masih dalam tahapan uji coba. Sasarannya tidak hanya sekadar hemat, tujuannya adalah PLN bisa mengatasi permasalahan sampah yang saat ini menjadi masalah utama di masing-masing daerah, dan membuka lapangan kerja," ungkap Plt. Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN Dwi Suryo Abdullah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya