Neraca Dagang Surplus USD 200 Juta, Ini Kata Sri Mulyani

BPS mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2019 mengalami surplus sebesar USD 200 juta.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Jul 2019, 14:10 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2019, 14:10 WIB
Sri Mulyani pada rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali
Sri Mulyani pada rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali. Dok: am2018bali.go.id

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2019 mengalami surplus sebesar USD 0,2 miliar atau USD 200 juta. Realisasi surplus ini tipis dibandingkan dengan posisi Mei 2019 yang tercatat sebesar USD 0,21 miliar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya akan terus memperhatikan perkembangan ekspor impor yang memberi dampak pada neraca dagang. Pemerintah akan melihat bagaimana dampak surplus bulan lalu, terhadap posisi neraca dagang secara tahunan.

"Kita lihat nanti keseluruhan tahun saja ya, tiap tahun kan kita lihat ada yang sifatnya berpengaruh dari musiman ada juga yang sifatnya adalah tren," ujar Sri Mulyani di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Senin (15/7).

Sri Mulyani mengatakan, saat ini Presiden Joko Widodo meminta seluruh menteri kabinet kerja agar bersama-sama menurunkan defisit neraca dagang. Artinya, pemerintah menyadari masih ada pekerjaan besar dalam hal menggenjot kinerja ekspor.

"Yang paling penting Presiden tetap meminta kepada setiap menteri bersungguh-sungguh dalam menangani masalah neraca perdagangan ini. Artinya ekspor harus terus digenjot, dan seluruh policy kita di kementerian lembaga, kebijakan-kebijakan di semua kementerian lembaga," jelasnya.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, pihaknya sebagai bendahara negara dan pembuat kebijakan fiskal akan terus berupaya menciptakan iklim positif bagi industri dalam negeri.

"Bagi kami di Kementerian Keuangan berarti kita bicara tentang perpajakan, pajak, bea cukai dan peraturan peraturan lain yang mungkin mempengaruhi kinerja ekspor. Kita akan terus menerus bekerja sama dengan instansi lain dalam mendukung ekspor dan menciptakan industri dalam negeri yang lebih kuat," tandas Sri Mulyani.

 

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ketegangan Perang Dagang Mereda, Defisit Dagang RI Bakal Tembus USD 10 Miliar

Aktivitas di JICT
Aktivitas di JICT, Jumat (15/3). Menko Perekonomian Darmin Nasution, mengisyaratkan kekhawatirannya terhadap kinerja impor yang kendur pada Februari 2019, meskipun hal ini membuat neraca perdagangan RI surplus. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menganggap, ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang mereda tak akan banyak berdampak bagi Indonesia.

Sebaliknya, defisit perdagangan Indonesia justru akan semakin melebar hingga USD 10 miliar.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira mengatakan, perang dagang AS-China masih berisiko mengalami eksalasi di tengah upaya Presiden Donald Trump memainkan strategi politiknya jelang Pilpres AS 2020. 

Posisi China yang masih bertahan juga disebutnya menyulitkan Negeri Paman Sam untuk menghasilkan kesepakatan yang win-win solution. 

"Dampaknya kinerja ekspor Indonesia masih akan tertekan sampai akhir tahun. Defisit perdagangan diperkirakan menembus USD 10 miliar. Lebih tinggi dari tahun 2018 lalu di USD 8,5 miliar," ungkap dia kepada Liputan6.com, Senin (1/7/2019).

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan RI pada Mei 2019 mengalami surplus hingga USD 210 juta. Akan tetapi, Bhima menuturkan pencapaian itu hanya bersifat temporer.

"Surplus kemarin cuma temporer, lebih disebabkan anjloknya impor bahan baku dan barang modal karena industri mengurangi kapasitas produksi. Jadi kecil kemungkinan akan surplus lagi," ujar dia.

Dia pun menuturkan, pokok masalah utama saat ini adalah bea tarif masuk. Dalam hal ini, Trump menyatakan masih ada potensi AS untuk tetap melanjutkan kenaikan bea masuk dan pajak yang jumlahnya mencapai USD 350 miliar. 

"Selama tarif bea masuk belum diturunkan signifikan, permintaan bahan baku dan komoditas dari Indonesia untuk manufaktur AS dan China akan menurun," tegas dia.

Menurut dia, kunci bertahan di era perang dagang adalah membuat insentif pajak dan non-pajak bagi industri yang mau lakukan relokasi atau peningkatan basis produksi di indonesia. 

"Contohnya ekspor tekstil dan pakaian jadi justru meningkat ordernya. Pemerintah tinggal melakukan pemetaan industri apa yang potensial dan jemput bola tawarkan insentif. Jangan terlambat karena Vietnam sudah gencar jemput bola ke perusahaan yang berbasis di China," imbuhnya.

"Bagi sektor yang terkena imbas negatif misalnya komoditas sawit, karet, batu bara, perlu didorong serapan domestiknya. Program B20 bisa dipercepat implementasinya dengan gandeng PLN untuk bahan bakar pembangkit tenaga diesel," dia menandaskan.  

BPS: Surplus Neraca Dagang Belum Ideal

Neraca Ekspor Perdagangan di April Melemah
Sebuah kapal bersandar di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (26/5). Penyebab kinerja ekspor sedikit melambat karena dipengaruhi penurunan aktivitas manufaktur dan mitra dagang utama, seperti AS, China, dan Jepang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2019 mengalami surplus sebesar USD 0,21 miliar. Realisasi ini membaik dari posisi neraca perdagangan April 2019 yang defisit sebesar USD 2,5 miliar atau terparah sepanjang sejarah.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, meski neraca perdagangan pada Mei mengalami surplus dan memberi sinyal positif terhadap kondisi perekonomian dalam negeri, namun ini belum cukup optimal.

Sebab, jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, kinerja ekspor Indonesia cenderung masih lebih rendah.

"Surplus ini harusnya dibicarakan posisi ideal bahwa untuk memperbaiki neraca perdaganganharus meningkatan ekspor dan mengendalikan impor. Harusnya kalau ideal ekspor naik impor turun," ujar Suhariyanto di Kantornya, Jakarta, Senin (24/6/2019).

Berdasarkan data BPS menunjukkan sepanjang Januari hingga Mei 2019 nilai ekspor Indonesia sebesar USD 68,46 miliar atau menurun 8,61 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Sementara untuk impor, secara kumulatif dari Januari hingga Mei 2019 tercatat sebesar USD 70,60 juta atau turun 9,23 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Suhariyanto menambahkan upaya pemerintah untuk menggenjot ekspor sendiri masih terganjal beberapa faktor eksternal seperti perang dagang serta harga komoditas yang fluktuatif dan cenderung menurun.

"Tadi seperti saya bilang upaya menggenjot ekspor tantangannya luar biasa. Jika negara-negara utama seperti China dan Singapura permintaan mereka lemah tentu berpengaruh (terhadap total nilai ekspor)," ujar Suhariyanto.

Sementara di satu sisi harga komoditas ekspor utama Indonesia seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan batu bara mengalami penurunan harga meski volume barang yang diekspor meningkat. Untuk minyak kelapa sawit, nilai total ekspor mengalami penurunan sebesar 17,87 persen selama periode Januari hingga Mei 2019.

Hal serupa terjadi juga untuk batu bara dengan volume ekspor yang meningkat namun harganya anjlok 21 persen sejak awal tahun. "Berbeda situasi dengan karet yang mengalami penurunan volume ekspor 11,17 persen sementara harganya naik 4,12 persen," katanya.

"Dengan adanya pergerakan ekspor dari 10 komoditas utama diharapkan bisa mendeteksi lebih baik barang atau komoditas utama mana yang perlu mendapat perhatian," kata Suhariyanto. 

Neraca Perdagangan RI Surplus USD 0,21 Miliar pada Mei 2019

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdaganganIndonesia pada Mei 2019 mengalami surplus sebesar USD 0,21 miliar. Realisasi ini membaik dari posisi neraca perdagangan April 2019 yang defisit sebesar USD 2,5 miliar.

"Neraca perdagangan Maret 2019 mengalami surplus USD Meskipun hanya kecil surplusnya, namuan ini setidaknya jadi snyal positif," ujar Kepala BPS, Suhariyanto saat memberi keterangan pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin, 24 Juni 2019.

Suhariyanto mengatakan nilai laju ekspor dan impor pada Mei 2019 memang mengalami penurun, meski demikian nilai kinerja ekspor jauh lebih tinggi. Hal ini membuat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus.

Nilai impor sebesar USD 14,53 miliar atau turun 5,62 persen dari bulan sebelumnya, sedangkan ekspor tercatat sebesar USD 14,74 miliar atau naik sebesar 12,42 persen dari bulan April 2019.

"Setidaknya ini masih bagus dibandingkan defisit, meskipun dalam posisi ideal dengan menggenjot ekspor dan mengendalikan impor," katanya.

Secara rinci, Suhariyanto membeberkan pada komoditas non migas tercatat surplus USD 1,18 miliar. Sedangkan, migas mengalami defisit sebesar USD 977,8 juta. Defisit migas terdiri dari nilai minyak mentah yang mengalami defisit USD 477,5 juta dan hasil minyak defisit US D1,12 miliar. Namun pada gas tercatat surplus USD 621,9 juta.

"Posisi surplus bulan Mei 2019 memang bukan hal yang ideal, karena seharusnya ekspor meningkat dan impor turun, maka surplus. Sedangkan ini keduanya turun namun surplus. Tetapi setidaknya ini lebih baik karena tidak defisit," jelas dia.

Adapun secara sepanjang Januari-Mei 2019 kinerja neraca perdagangan Indonesia tercatat defisit sebesar USD 2,14 miliar. Realisasi ini lebih baik dari periode Januari-Mei 2018 yang defisit sebesar USD 2,87 miliar.

"Realisasi ini juga dipengaruhi kondisi perekonomian global yang saat ini sedang tidak mudah. Negara tujuan ekspor kita mengalami perlambatan, harga komoditas kita juga berfluktuatif," katanya.  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya