Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta untuk memastikan luasan lahan konsesi yang mengalami kebakaran. Hal ini agar data terkait lahan tersebut tidak salah dan menjadi simpang siur.
Pengamat Kehutanan Yanto Santosa menyarankan, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengklasifikasikan masing-masing luasan konsesi terbakar berdasarkan penanggung jawab konsesi lahannya.
Penghitungan tidak hanya dilakukan pada kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), namun juga di konsesi tanah negara seperti areal restorasi ekosistem, areal moratorium, areal kawasan hutan lindung, area kawasan konservasi dan taman nasional.
Advertisement
Dari situ, lanjut dia, maka bisa diklafikasi besaran persentase lahan yang mengalami kebakaran berdasarkan kepemilikan serta penanggung jawab konsesi.
Baca Juga
“Kalau penyajian datanya seperti itu, mustahil karhutla di perkebunan sawit dan HTI mencapai 85 persen,” kata Yanto di Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Pemerintah, kata Yanto, juga harus lebih fair dan bijaksana dalam mengungkapkan satu permasalahan agar tidak menimbulkan masalah baru. Seharusnya, para pejabat pemerintah tidak menganggap jumlah institusi yang ditindak sebagai suatu prestasi, karena kontra produktif bagi iklim investasi Indonesia.
Hal itu, bisa menyulitkan promosi-promosi yang dilakukan Pemerintah Indonesia baik untuk sawit maupun kayu. Penegak hukum bisa saja menindak instansi yang melanggar setelah ada pembuktian dan tidak perlu menggembar-gemborkan terlebih dulu.
“Tidak ada yang harus ditutup-tutupi, namun tidak semuanya harus diumbar. Sebaiknya internal KLHK tetap melakukan penindakan tanpa harus mengumbar agar iklim investasi tetap kondusif," kata dia.
Data Global Forest Watch (GFW) per 1 Januari 2019 hingga 16 September 2019 jelas menunjukkan di seluruh Indonesia, kebakaran di dalam konsesi sawit mencapai 11 persen, sedangkan luar konsesi mencapai 68 persen.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dampak Karhutla, Penumpang Pesawat Turun 5,9 Persen
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, jumlah penumpang angkutan udara yang diberangkatkan pada Agustus 2019 sebanyak 6,7 juta atau turun 5,9 persen dibanding bulan sebelumnya. Penurunan tersebut salah satunya disebabkan oleh kebakaran lahan dan hutan di beberapa daerah.
"Masih ditambah lagi dengan berbagai bencana yang terjadi seperti kebakaran hutan dan lahan ada gangguan penerbangan terutama untuk rute-rute di Kalimantan dan Sumatera," ujar Suhariyanto di Kantornya, Jakarta, Selasa (1/10).
Suhariyanto melanjutkan penurunan penumpang angkutan udara juga seiring dengan berakhirnya masa libur anak sekolah. Pada bulan Juli, tercatat ada libur sekolah yang cukup panjang usai libur puasa dan Lebaran.
"Jumlah penumpang angkutan udara pada bulan Agustus ini adalah sebesar 6,72 juta turun dibanding bulan lalu, turun tajam dibanding bulan Agustus 2018. Kalau dibanding bulan lalu, kita bisa memahami karena musim liburan sekolah sudah slesai di bulan Juli sehingga jumlah penumpang domestik pada Agustus turun," jelasnya.
Suhariyanto menambahkan, penurunan harga tiket pesawat juga tidak langsung berdampak signifikan terhadap kenaikan penumpang. Sebab apabila dibandingkan dengan tahun lalu harga tiket saat ini masih tergolong lebih tinggi sehingga mengurangi minat masyarakat untuk bepergian.
"Dibandingkan tahun, walaupun harga tiket turun dari bulan sebelumnya, masih tetap lebih mahal dibandingkan harga tiket Agustus 2018," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Advertisement