13 Bank Besar Dukung Platform Industri Keuangan Berkelanjutan

Bank Indonesia pun menunjukkan komitmen dalam pengelolan risiko iklim dengan anggota the Network for Greening the Financial System (NGFS).

oleh stella maris pada 29 Nov 2019, 08:00 WIB
Diperbarui 28 Nov 2019, 19:52 WIB
bank bjb
Ki-ka: Putu Rahwidhiyasa, Kristina Lestari Ningsih, Effendy Hengky, Fransiska Oei, Joseph Chan, Nuni Sutyoko saat Konferensi pers lima anggota baru IKBI.

Liputan6.com, Jakarta Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI) resmi menyambut bergabungnya lima bank nasional sebagai anggota baru, yaitu CIMB Niaga, Bank Syariah Mandiri, OCBC NISP, Maybank Indonesia, dan HSBC Indonesia. Total 13 bank anggota IKBI kini mewakili 60 persen aset perbankan nasional. Seremoni penandatanganan dilaksanakan pada Seminar Internasional bertajuk Menggerakkan Sektor Keuangan Menuju Perekonomian Tahan Perubahan Iklim.

Seminar ini digelar IKBI bersama Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) pada Selasa, 26 November 2019, di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Meluasnya jaringan keanggotaan IKBI diharapkan dapat menjadi katalis bagi pemerataan peningkatan kinerja bank nasional dalam hal integrasi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) pada strategi bisnisnya.

Langkah penting industri ini akan mendongkrak peluang bisnis keuangan berkelanjutan yang inovatif dengan membangun solusi-solusi keuangan baru. Ketua IKBI yang juga Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia, Sunarso menyatakan apresiasinya pada kolaborasi tersebut.

“Kami mengapresiasi bergabungnya CIMB Niaga, Bank Syariah Mandiri, Bank OCBC NISP, Maybank Indonesia, dan HSBC Indonesia untuk memperkuat IKBI. Harapan kami, agar para anggota IKBI dapat menjadi pionir yang meningkatkan peran sektor keuangan dalam mendorong para nasabah untuk menerapkan transformasi praktik berkelanjutan – memitigasi risiko keberlanjutan pada portofolio dan beralih pada peluang ekonomi global yang rendah karbon dan tahan terhadap perubahan iklim,” kata Sunarso.

Saat ini Indonesia berada pada masa transisi menuju pembangunan ekonomi rendah karbon. Berdasarkan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia—emisi gas rumah kaca (GRK) paling banyak dihasilkan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang melibatkan sektor perubahan tata guna lahan dan gambut, energi, industri, pertanian, dan limbah.

Apabila kegiatan bisnis saat ini tidak merubah cara-cara produksinya untuk lebih efisien dan rendah emisi, maka target penurunan emisi GRK Indonesia pada 2030 tak akan tercapai. Sektor jasa keuangan juga mempunyai peranan kunci, dalam mengembangkan kebijakan yang dapat meningkatkan kinerja praktik berbagai industri, guna menurunkan emisi GRK.

Berdasarkan data The Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC pada 2018 menekankan bahwa kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat celcius, akan menimbulkan dampak iklim yang cukup besar seperti terjadinya kekeringan, curah hujan yang tinggi, kenaikan permukaan air laut, dan kepunahan spesies serta bertambahnya isu ketahanan pangan.

Ancaman tersebut dapat berpotensi menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan terganggunya kehidupan sosial. Hal ini juga sudah menjadi perhatian para regulator di tingkat global termasuk Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan Peraturan No. 51 Tentang Keuangan Berkelanjutan di Indonesia sebagai respon terhadap kondisi dimaksud.

Bank Indonesia pun menunjukkan komitmennya dalam pengelolan risiko iklim dengan menjadi anggota the Network for Greening the Financial System (NGFS). Sebuah platform regulator keuangan global untuk mengatasi risiko perubahan iklim. Pada kesempatan seminar internasional ini, IKBI mengumpulkan jajaran pemimpin lembaga jasa keuangan nasional dan para pemangku kepentingan pasar modal.

Tujuannya guna memberikan pemahaman lebih baik, terkait bagaimana memahami adanya risiko iklim di dalam portofolio mereka dan mengelolanya agar terhindar dari potensi disrupsi ekonomi yang buruk. Direktur Utama BEI, Inarno Djajadi menegaskan komitmennya mendukung pembangunan pasar modal berkelanjutan.

“BEI telah bergabung dengan Sustainable Stock Exchange Initiative, perkumpulan bursa-bursa dunia yang menitikberatkan pada program-program keuangan berkelanjutan,” jelas Inarno.

Selain itu, Focal Point Sekretariat IKBI mewakili WWF-Indonesia, Rizkiasari Yudawinata menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Oleh karena itu penting agar lembaga jasa keuangan (LJK), mulai mengidentifikasi dan mengelola potensi risiko-risiko iklim dan peluang, di dalam masa transisi menuju ekonomi rendah karbon dan ramah lingkungan.

“Dengan bergabung di IKBI, yang didirikan oleh delapan bank dan WWF-Indonesia pada 2018, bank-bank dapat memanfaatkan plaform yang ada guna meningkatkan kapasitas dan pengetahuan terkait integrasi lingkungan, sosial dan tata kelola (LST), memperluas peluang bisnis yang menerapkan prinsip keberlanjutan dan memfasilitasi dialog dengan para pemangku kepentingan seperti regulator, investor, dan lainnya,” jelas Rizkiasari.

Lebih dari 100 peserta perwakilan LJK, pemerintah, swasta, dan CSO bergabung dalam seminar ini. Berbagai narasumber strategis dan ahli keuangan berkelanjutan yang terlibat dalam seminar antara lain ACTIAM, Asia Sustainable Finance Initiative, Bank Syariah Mandiri, BNP Paribas Indonesia, HSBC Indonesia, Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Standard Chartered Indonesia, United Nations Environment Programme Finance Initiative (UNEP FI), dan WWF-Indonesia.

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya