Penyerapan B30 Selama Pandemi Tak Capai Target

Pandemi corona turut berdampak ke bisnis di sektor kelapa sawit.

oleh Tira Santia diperbarui 29 Jun 2020, 13:30 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2020, 13:30 WIB
Uji Coba Penggunaan Bahan Bakar B30
Sampel biodiesel B0, B20, B30, dan B100 dipamerkan saat uji jalan Penggunaan Bahan Bakar B30 untuk kendaraan bermesin diesel di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (13/6). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Adanya pandemi Covid-19 sangat berdampak pada berbagai sektor kehidupan sosial ekonomi, begitupun dengan sektor kelapa sawit.

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyatakan penyerapan Biodiesel 30 (B30) selama covid-19  tidak memenuhi target awal.

“B30 yang menyerap kira-kira kalau normal tanpa ada covid-19 itu kita targetnya 9,6 juta kilo liter untuk biodiesel, tapi karena ada covid-19 demand atau konsumsi biodiesel berkurang  karena kegiatan ekonomi,” kata Ketua Dewan Pengawas BPDKS Rusman Heryawan, dalam webinar, Senin (29/6/2020).

Padahal Rusman mengatakan pihaknya menargetkan realisasinya sekitar 80 persen dari 9,6 juta kilo liter itu, karena hal itu signifikan dalam menyerap produk sawit Indonesia.

Selain itu, dengan adanya covid-19, juga sangat mengganggu sektor Sawit di hilir, sedangkan untuk sektor hulu tidak terlalu terganggu.

“Sektor sawit ini kita harus bersyukur ketika pandemi covid-19 sedang puncak-puncaknya di Indonesia Maret-April-Mei, sepertinya kalau di sektor hulu di perkebunan saya tanya kawan-kawan di sana tidak merasakan apa-apa, memang di hilir terasa,” ujarnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kegiatan Perkebunan di Tengah Pandemi

Sawit Jambi
Industri perkebunan sawit di Jambi menginspirasi pembuatan sebuah film dokumenter berjudul The Green Lie. (Foto: Dok Humas Pemprov Jambi/B Santoso)

Menurutnya memang praktek di hulu yakni di perkebunan sawit tidak menerapkan physical distancing karena mereka bekerja sendiri, dan pada dasarnya sebelum ada pandemi juga setiap orang yang bekerja atau berkebun itu bekerja sendiri-sendiri dan berjauhan.

“Bukan berarti menyendiri memang proses di sawit begitu, di sawit itu over protokol. Oleh karena itu dampak covid-19 ini terhadap sektor hulu dampaknya kecil, kalau pun ada mungkin euforia saja,” katanya.

Namun, apabila di sektor hilir di bagian industri sawitnya memang terdampak oleh covid-19, karena industrinya berada di daerah urban, sehingga industri di hilir seperti berkaitan dengan pengelolaan hasil sawit seperti produk-produk  kosmetik, dan lainnya terpaksa harus berkumpul atau bekerja dengan protokol kesehatan yang tinggi,

“Kalau pandemi ini dari sektor produksinya di hulu rasanya tidak terganggu  

Masuk Program Prioritas, Mandatori B30 Harus Berlanjut

Pertamina Mulai Sediakan Solar Campur Minyak Sawit
Petugas mengisi BBM kendaraan konsumen di SPBU milik Pertamina di kawasan Jakarta, Selasa (26/11/2019). Implementasi penyediaan solar dengan minyak kelapa sawit sebesar 30% atau B30 lebih cepat satu bulan, dibanding kebijakan pemerintah yang mewajibkan 1 Januari 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah memasukkan Mandatori B30 dalam program prioritas nasional. Program ini dinilai perlu berlanjut demi penyelamatan dan pemulihan ekonomi nasional pascapandemi Covid-19.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sri Adiningsih mengakui jika kondisi saat ini sangat berat. Mesko demikian, pemerintah telah bekerja keras untuk mengatasi pandemi Covid-19. Mulai dari mengatasi dampak hingga langkah pemulihan ekonomi.

Menurut dia, jika terjadi krisis seperti saat ini yang perlu dilakukan adalah melakukan penyesuaian terhadap program pembangunan yang sudah berjalan. Khusus program B30, semua pemangku kepentingan dinilai sebaiknya berbagi peran agar program ini tetap bisa terlaksana.

"Misalnya saja, dunia usaha harus merelakan keuntungannya dikurangi seiring dengan meningkatnya pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya, per 1 Juni lalu," jelas dia seperti melansir Antara, Rabu (17/6/2020).

Sementara itu, produsen biodiesel harus melakukan efisiensi supaya harga produk yang dihasilkan bisa lebih kompetitif. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran Rp 2,78 triliun kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk keberlanjutan program ini.

Menurut Sri Adiningsih, pengalokasian anggaran negara tersebut tidak perlu dipersoalkan mengingat B30 yang merupakan bagian dari program energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) ini memang membutuhkan biaya yang tidak murah pada awal pelaksanaannya.

"Di mana saja memang begitu. Brasil, Jerman dan di negara-negara yang akhirnya memberlakukan EBTKE, di awal-awalnya semuanya juga melakukan subsidi. Jadi, program ini harus tetap dilaksanakan walaupun saat ini harga solar lebih murah dibandingkan dengan biodiesel," lanjut dia.

Program EBTKE itu, dikatakan ke depan menjadi keharusan, karena tidak mungkin terus-terusan mengandalkan minyak bumi dan batu bara, sebaliknya Indonesia beruntung memiliki sawit melimpah yang menjadi resources untuk energi.

Selamatkan Harga TBS

Ilustrasi Perkebunan Sawit
Ilustrasi Perkebunan Sawit (iStockphoto)​

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat MP Manurung mengatakan program B30 mampu menyelamatkan harga tandan buah segar (TBS) petani.

Rata-rata harga TBS sejak Februari-Mei 2020 lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, padahal di tahun ini terjadi pandemi Covid-19 yang menurunkan perekonomian dunia.

Gulat mengatakan, harga TBS pada periode Februari-Mei 2020 relatif stabil di kisaran Rp1.600-Rp1.800/kg sementara pada periode yang sama tahun lalu di kisaran Rp1.100/kg bahkan ada yang sampai di bawah Rp1.000.

"Stabilnya harga TBS di angka yang menguntungkan petani ini dipicu oleh implementasi B30. Pasalnya, industri biodiesel per tahun membutuhkan sekitar 7,8 juta ton CPO," katanya.

Selain itu, stabilnya harga TBS di tingkat yang menguntungkan petani tersebut juga dipicu oleh kebijakan Pemerintah Malaysia yang memberlakukan lockdown akibatnya sebagai produsen CPO nomor dua setelah Indonesia, negara itu tidak bisa melakukan ekspor.

Pemicu lainnya menurut dia, adanya tambahan permintaan dari industri sanitasi dunia sejak pandemi COVID-19, sehingga pemanfaatan CPO untuk deterjen dan produk sanitasi lainnya, meningkat 2,5-3,5 persen yang dikirim ke seluruh dunia 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya