Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan mencatat defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) hingga akhir 2020 mencapai Rp500,5 triliun. Bersamaan dengan defisit tersebut, pemerintah juga sudah menarik utang sebesar Rp693,6 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah sudah melakukan penarikan SBN neto sebesar Rp671,6 triliun dan pinjaman neto sebesar Rp22 triliun. Utang baru tersebut memberikan beban yang luar biasa pada APBN.
Baca Juga
"Dengan defisit Rp 500 triliun pemerintah sudah melakukan issuance SBN neto Rp671,6 triliun dan menarik pinjaman neto sebesar Rp22 triliun. Pembiayaan utang kita capai Rp693,6 triliun dari yang diperkirakan capai Rp1.220 triliun," kata Sri Mulyani, Selasa (22/9).
Advertisement
"Ini kenaikan luar biasa untuk SBN yakni 143 persen dari tahun lalu. Beban APBN kita luar biasa berat dan ini terlihat dari sisi pembiayaannya," sambungnya.
Sri Mulyani melanjutkan, dari sisi pembiayaan investasi sudah mencapai Rp27,2 triliun. Angka tersebut tersebar untuk investasi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU) dan lembaga lain, masing-masing mencapai Rp11,3 triliun, Rp11 triliun dan Rp5 triliun.
"Kita di sisi lain pembiayaan investasi ke BUMN mencapai Rp11,3 triliun dan investasi ke BLU mencapai Rp11 triliun dan ke lembaga lain Rp5 triliun. Sehingga total Rp27,2 triliun, kalau dilihat dari target prepres mencapai Rp257,1 triliun tahun ini," paparnya.
Sementara itu, dalam pembiayaan anggaran juga ada pemberian pinjaman sebesar Rp1,7 triliun dan kewajiban penjaminan Rp400 miliar sampai akhir Agustus. Adapun total pembiayaan keseluruhan sampai akhir Agustus mencapai Rp667 triliun atau naik 138 persen dibandingkan tahun lalu.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Usai Covid-19, Utang akan Jadi Masalah Serius Banyak Negara di Dunia
Utang akan menjadi salah satu tantangan terbesar atau masalah serius banyak negara dalam dekade mendatang.
Pemerintah di seluruh dunia terpaksa menanggung kenaikan pengeluaran untuk mendukung ekonomi yang terpukul parah pandemi virus corona. Imbas ini, beberapa negara harus meminjam atau berutang dalam jumlah besar guna menutupi pengeluaran.
Utang dinilai merupakan “strategi ekonomi yang masuk akal” ketika satu negara dihadapkan dengan krisis dan ketidakpastian seperti saat ini.
Ini diungkapkan Menteri Senior dan Menteri Koordinator Kebijakan Sosial Singapura, Tharman Shanmugaratnam.
"Masalah besar dalam dekade mendatang adalah bagaimana memastikan bahwa utang dapat dipertahankan," kata Tharman, yang juga merupakan pakar ekonomi dan keuangan seperti melansir laman CNBC, Selasa (15/9/2020).
Dia menambahkan bahwa tingkat utang baru yang tinggi yang dituju banyak negara tidak dapat berlanjut tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Itu karena ekonomi saat ini - tidak seperti pada periode setelah Perang Dunia Kedua. "Tidak dapat lagi mengandalkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan inflasi untuk menurunkan utang, jelas dia.
"Pertumbuhan yang cepat tidak mungkin lagi, mereka sekarang adalah masyarakat yang menua, pertumbuhan produktivitas jauh lebih rendah dari sebelumnya,” kata Tharman, yang mengetuai Komite Moneter dan Keuangan Internasional (IMFC ) periode 2011 hingga 2015.
Dia menuturkan, inflasi tidak akan ditoleransi oleh masyarakat yang lebih tua. "Mereka mungkin ditoleransi ketika masyarakat masih muda dan pendapatan semua orang meningkat, itu tidak akan ditoleransi sekarang, ”tambah dia.
Advertisement
Suku Bunga Naik
Selain itu, ke depan suku bunga utang yang sangat rendah saat ini akan meningkat hingga mencapai posisi normal. " Hal yang akan meningkatkan biaya pembiayaan utang," kata Tharman.
Dia pun mengingatkan jika pemerintah di banyak negara harus menemukan cara untuk menyeimbangkan anggaran dengan pertumbuhan ekonomi tanpa hanya memperbesar defisit.
Namun, menurut dia, sangat sedikit negara maju yang mampu menangani masalah itu. Jerman dan Italia sebagai salah satu dari sedikit negara yang mengalami surplus anggaran primer.
“Ini masalah yang sangat serius. Anda akan membutuhkan reformasi fiskal, tidak hanya mengurangi belanja tetapi belanja berkualitas dan cara-cara meningkatkan pendapatan yang tidak menghambat pertumbuhan, ” tutur dia
Seraya menambahkan bahwa pemerintah harus memberi insentif lebih banyak pada investasi swasta untuk meningkatkan pertumbuhan produktivitas dan menentang stagnasi sekuler.