Dongkrak Ekonomi, UU Cipta Kerja Longgarkan Tarif PPh Badan

Pemerintah tengah gencar melakukan reformasi ekonomi termasuk perpajakan guna mengakselerasi pemulihan ekonomi pasca covid-19.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 12 Okt 2020, 13:23 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2020, 13:22 WIB
Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo mengungkapkan sejumlah kendala yang dihadapi untuk bisa mencapai target penerimaan pajak saat ini. Suryo mengatakan bahwa pendapatan perpajakan memang mengalami tekanan akibat pandemi covid-19. Namun pemerintah tetap harus memberikan insentif pajak kepada seluruh elemen masyarakat di Indonesia untuk pemulihan ekonomi.

Suryo pun menjelaskan, pemerintah tengah gencar melakukan reformasi ekonomi termasuk perpajakan guna mengakselerasi pemulihan ekonomi pasca covid-19. Reformasi tersebut salah satunya melalui UU Cipta Kerja.

“Di UU Cipta Kerja sudah jelas kami berikan insentif dalam bentuk yang sudah di-introduce di UU 2 2020. PPh badan tarif kami turunkan dari 25 persen jadi 20 persen, dan kalau yang IPO turun lagi 3 persen. Itu tujuannya untuk menarik investasi lapangan kerja baru supaya aktivitas ekonomi tumbuh lebih cepat,” ujar dia dalam media briefing, Senin (12/10/2020).

Hal ini, kata Suryo, dilakukan dalam konteks membandingkan dengan negara lain untuk memastikan insentif perpajakan yang diberikan pemerintah cukup bersaing secara global.

“Tapi memang kita harus akui bahwa insentif pajak ini, daya saing ini sendiri tidak cukup. Itu harus disertai reformasi dalam bidang lain, terutama konteks perizinan. UU Cipta Kerja mengaddress pada simplifikasi regulasi. Sehingga kemudahan usaha di Indonesia naik signifikan,” kata dia.

Adapun dampak reformasi ini terhadap tax ratio kedepannya, Suryo menjelaskan hal tersebut tergantung pada seberapa cepat reformasi ini diimplementasikan.

“Dengan cepat kami lakukan implementasinya, akan semakin banyak aktivitas ekonomi baru yang terjadi. Lapangan kerja baru terjadi. Sehingga penerimaan perpajakan lebih tumbuh cepat,” kata dia.

Suryo berharap, melalui reformasi ini akan terjadi peningkatan secara gradual. “Memang ini bukan sesuatu yang akan terjadi dalam setahun dua tahun saja. Tapi secara perlahan harapannya reformasi yang kami perkenalkan tahun ini dan kemudahan berusaha yang terus kami tingkatkan itu akan membuat Tax ratio akan meningkat secara gradual,” pungkas dia.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Penerimaan Pajak Turun, Kemenkeu Dorong Reformasi Perpajakan UMKM

Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Sebelumnya, Mengingat peran UMKM terhadap pendapatan negara, pemerintah menilai perlunya reformasi perpajakan untuk UMKM.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Nathan Kacaribu menilai masih banyak UMKM yang belum masuk dalam sistem perpajakan.

 

“Untuk UMKM juga perlu reformasi perpajakan, melihat bahwa porsi UMKM sangat besar yang mencerminkan informality dari perekonomian kita. Itu banyak tidak tertangkap dalam perpajakan. Porsi UMKM sangat besar sehingga threshold PKP Rp 4,8 miliar menyebabkan pajak dengan rezim normal makin kecil dan rezim PPh final bertambah. Banyak UMKM diperkirakan tidak masuk dalam sistem perpajakan,” jelas Febri dalam media briefing, Senin (12/10/2020).

“Estimasi, benefit yang diterima UMKM Rp 64,6 triliun. Bisa dalam bentuk PPh Rp 22,6 triliun, lalu insentif dalam bentuk PPN karena threshold Rp 4,8 miliar itu Rp 42 triliun,” sambung dia.

Febrio menekankan hal tersebut perlu diperjelas. Termasuk mempertimbangkan tekanan penerimaan perpajakan sementara waktu akibat pandemi Covid-19. Untuk itu, Febrio menyebutkan hal tersebut harus segera ditemukan titik keseimbangannya.

“Ini harus dipikirkan pelan-pelan dan bersama. Tidak bisa kita katakan, nanti akan ketemu solusi sendiri, ga mungkin. Harus reformasi sama-sama. Harapannya, kalaupun di 2020 ini tax ratio tertekan cukup dalam, bisa pulih perlahan menuju 2021, 2022, dst. Tax ratio harus meningkat,” kata dia.

Febrio menambahkan, hal tersebut menjadi penting karena jika pendapatan dari perpajakan mengalami penurunan, maka defisit juga akan tinggi. Akibatnya, hutang juga semakin tinggi yang berimbas pada tingginya suku bunga SBN.

“Kalau kita makin rendah penerimaan perpajakan, tax ratio, artinya defisit kita makin terancam untuk tetap tinggi. Defisit tinggi, artinya kita nambah utang, utang semakin tinggi itu sebabkan suku bunga SBN tinggi dan ga sehat ekonomi kita,” kata dia.

Untuk itu, mengingat pendapatan negara banyak disumbang oleh konsumsi domestik, Febrio menilai perlu untuk memikirkan reformasi perpajakan pada sektor tersebut.

“Kita harus pikirkan reformasi perpajakan dengan domestic resource mobilization. Gimana sumber daya domestik dimaksimalkan untuk pembangunan dalam negeri,” ujar Febrio.

2 dari 3 halaman
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya