Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 terkontraksi minus 3,49 persen. Sebelumnya, pada kuartal II-2020 sudah tercatat minus 5,32 persen. Dengan demikian Indonesia masuk ke jurang resesi.
Direktur PT Garuda Berjangka, Ibrahim Assuhaibi mengatakan kontraksi yang terjadi di kuartal ketiga ini diluar prediksi pemerintah dan para ekonom. Sebab sebelumnya, pemerintah memperkirakan kontraksi berada dikisaran - 2 persen sampai - 1 persen.
Baca Juga
"Ini diluar dugaan karena sebelumnya dianggap kontraksi dikisaran negatif 2 persen dampak negatif 1 persen," kata Ibrahim saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Kamis (5/11/2020).
Advertisement
Ibrahim menjelaskan, kontraksi saat ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada kuartal pertama tahun 2020. Sementara, saat itu pemerintah belum memberikan stimulus ekonomi kepada masyarakat.
Terlepas dari resesi, pada kuartal ketiga ini, pemerintah telah menggelontorkan berbagai program stimulus ekonomi.
"Tapi kenyataannya ini kontraksi di 3,49 persen ini hampir di Q2 3,5 persen. Tidak ada bedanya, kalau di Q2 3,5 persen, kalau Q3 3,49 persen," kata Ibrahim.
Ibrahim menilai, resesi dipengaruhi kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sempat kembali melakukan kebijakan PSBB selama satu bulan. Padahal kala itu DKI Jakarta sudah memasuki tahapan PSBB transisi.
"Penyebabnya PSBB DKI yang tadinya memasuki masa transisi melakukan pengetatan PSBB selama satu bulan," kata dia.
Akibatnya, daya beli masyarakat yang mulai tumbuh di masa transisi kembali menurun drastis saat kebijakan PSBB diberlakukan. Mal dan restoran yang sempat buka harus kembali tutup mengikuti aturan pemerintah daerah.
"Ini dampak langsungnya ke konsumsi masyarakat," kata dia.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ganggu Iklim Investasi
Penerapan kebijakan PSBB kembali pun sempat mengganggu iklim investasi. Maka, tak heran jika PSBB ini memberikan sumbangsih pada kontraksi ekonomi yang terjadi di kuartal ketiga tahun ini.
"Sehingga ini yang mengakibatkan kontraksi yang tajam, yang tadinya diprediksi minus 2 sampai minus satu menjadi minus 3,49 persen," tutur Ibrahim.
Dia menambahkan dampak lainnya yaitu sektor pembangunan infrastruktur yang saat ini tidak jadi perhatian pemerintah. Selama pandemi, pembangunan infrastruktur baik yang dilakukan swasta maupun pemerintah dihentikan.
Semua perhatian pemerintah pada penanganan kesehatan. Sehingga menghambat sektor investasi. Meski saat ini kondisinya mulai membaik namun tetap masih anjlok dan mengakibatkan kontraksi yang diluar perkiraan.
"Walaupun investasi di Indonesia sedikit lebih baik, tetapi masih jemblok dibandingkan tahun sebelumnya. Ini mengkhawatirkan, jadi wajar Q3 kontraksi," kata dia mengakhiri.
Merdeka.com
Advertisement