Liputan6.com, Jakarta - Republik Guinea di Afrika dikudeta sekelompok tentara yang merebut kekuasaan dari Presiden Alpha Condé. Hal cukup mengagetkan bagi negara di kawasan Afrika ini.
Maklum, sejatinya Guinea dilaporkan juga tengah menderita akibat pandemi Covid-19. Ekonomi negara ini memburuk imbas turunnya permintaan global dan harga minyak yang disebabkan oleh krisis ditambah dengan penurunan konsumsi rumah tangga.
Baca Juga
Serta imbas perlambatan kegiatan bisnis karena langkah-langkah untuk menahan penyebaran penyakit.
Advertisement
Dikutip dari laporan African Development Bank Group, dalam situsnya, Senin (6/9/2021), PDB riil Guinea menyusut 6,1 persen pada tahun 2020, dibandingkan 2019 sebesar 5,6 persen.
Itu adalah tahun resesi kedelapan berturut-turut karena masalah pertumbuhan baik di sektor minyak (–7,2 persen) dan non-minyak (–4,7 persen).
Di sisi permintaan, investasi mengalami kontraksi sebesar 35 persen. Tetapi meskipun output turun, harga naik. Inflasi tercatat mencapai 3Â persen pada 2020, naik dari 1,2Â persen pada 2019, akibat dari penurunan nilai perdagangan yang disebabkan oleh pandemi dan situasi moneter yang memburuk.
Akibatnya, Bank of Central African States berhenti berusaha untuk mengurangi likuiditas dalam sistem perbankan dan mengusulkan serangkaian langkah-langkah untuk mendukung ekonomi di Komunitas Ekonomi dan Moneter Afrika Tengah (CEMAC). Caranya dengan memotong suku bunga kebijakan dan suku bunga kebijakan.
Defisit transaksi berjalan melebar menjadi 9,9 persen dari PDB pada tahun 2020, dibandingkan dengan 5,9Â persen pada tahun 2019, karena penurunan nilai perdagangan dan penurunan 41,5Â persen dalam ekspor minyak.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Prediksi di 2021
Usai terpuruk pandemi, ekonomi Guinea diperkirakan akan tumbuh 2,6 persen pada tahun 2021. Proyeksi ini berdasarkan keberhasilan penyelesaian proyek gas besar dan pemulihan ekonomi dunia pada paruh kedua tahun ini.
Tetapi negara itu diperkirakan akan kembali ke resesi pada tahun 2022, dengan penurunan PDB riil sebesar 4,4 persen.
Tingkat inflasi diperkirakan akan menetap di 2,9 persen selama dua tahun ke depan, tetap dalam batas CEMAC 3 persen.
Anggaran diperkirakan akan mengalami defisit sebesar 2,4 persen dari PDB pada tahun 2021 dan 1,5Â persen dari PDB pada tahun 2022.
Neraca transaksi berjalan diperkirakan akan tetap defisit sebesar 6 persen dari PDB pada tahun 2021 dan 5,6Â persen pada tahun berikutnya.
Faktor risiko utama negara itu, di luar persistensi pandemi, tetap kurangnya diversifikasi ekonomi berbasis minyak, yang ditambah dengan kelemahan struktural dari sumber daya manusia yang tidak memadai.
"Memang, negara memiliki defisit kapasitas, terutama dalam hal pengelolaan dan tata kelola keuangan publik, yang menghambat implementasi yang efektif dari kebijakan transformasi ekonomi dan sosialnya," mengutip penjelasan AFDB.
Â
Advertisement