Liputan6.com, Jakarta Perang Rusia-Ukraina merupakan ancaman terhadap pemulihan perekonomian Indonesia yang saat ini masih berada dalam kondisi rapuh akibat hantaman pandemi Covid-19. Tekanan yang dihadapi Indonesia kian bertambah karena tahun 2022 ini Indonesia juga memegang presidensi konferensi G20.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri
Baca Juga
"Sebagaimana kita ketahui, Amerika mengancam akan memboikot konferensi G20, jika acara ini dihadiri oleh perwakilan dari Rusia,” ujar Yose Rizal Damuri dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (9/4/2022).
Advertisement
Rusia merupakan pemasok bahan mentah yang penting bagi perekonomian dunia, menduduki posisi sebagai eksportir minyak terbesar keempat di dunia dengan rata-rata nilai ekspor 7,4 juta barel per hari. Ukraina juga merupakan negara pengekspor gandum yang besar di dunia.
Hal ini menjadikan konflik di antara kedua negara memberikan dampak besar terhadap perekonomian dunia, terutama pada sektor komoditas dan energi.
Ia menambahkan, akibat konflik ini, lembaga OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) memperkirakan, penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 percentage point.
Ini angka yang besar sekali, karena pertumbuhan perekonomian dunia belum pulih sepenuhnya. Dampak yang tidak sedikit juga tampak pada inflasi. Padahal, saat ini inflasi sudah tinggi akibat disrupsi pasokan bahan baku selama pandemi. Invasi Rusia kemungkinan akan memperparah tingkat inflasi, terutama bagi negara konsumen energi, seperti Indonesia.
Bagi Indonesia, dampak langsung konflik Rusia-Ukraina sebenarnya tidak terlalu signifikan, karena kedua negara tersebut bukan mitra dagang utama kita.
Namun, tetap saja, Indonesia harus melakukan langkah antisipasi, karena kita mengimpor gandum dan bahan pangan lain dari kedua negara tersebut. Yang pasti, konflik antara kedua negara tersebut akan mempengaruhi rantai pasokan bahan baku ke dalam negeri.
“Dampak tidak langsung datang dari imbas konflik pada perekonomian negara-negara Uni Eropa (UE) dan negara lain yang merupakan mitra dagang utama Indonesia. Dampak tidak langsung ini tidak selalu negatif, karena dengan rusaknya hubungan dagang antara Rusia dan negara lain, kita bisa mendapatkan windfall benefit akibat pengalihan aktivitas ekonomi ke Indonesia. Sebagai contoh, produk CPO (crude palm oil) dari Indonesia harganya jadi meningkat. Sekarang tinggal bagaimana caranya kita mengatur agar dampak negatif dan positif ini bisa seimbang,” ungkapnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Langkah Antisipasi
Menghadapi berbagai masalah ini, Indonesia perlu segera melakukan langkah antisipasi yang diperlukan, yaitu:
Pertama, tetap mempertahankan perekonomian terbuka dan tidak protektif. Perekonomian terbuka amat menolong untuk keluar dari krisis ekonomi atau paling tidak mencegah krisis kian membesar.
Kedua, aktif mencari berbagai sumber pasokan alternatif. Sumber pasokan alternatif mesti giat dicari, karena kita tidak bisa mendapatkan barang dari Rusia dan Ukraina. Ini saling berhubungan, yang memungkinkan kita bisa mengimpor barang, jika diperlukan.
Ketiga, mempersiapkan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih berhati-hati untuk mencegah peningkatan inflasi.
Keempat, Menyiapkan jaring pengaman sosial yang lebih efektif, dengan memanfaatkan windfall benefit dari kenaikan harga komoditas internasional.
Kelima, menjadikan ini momentum untuk transisi energi dan skema ketahanan pangan yang lebih baik. Transisi energi akan meningkatkan kemandirian dan kestabilan pengadaan energi Indonesia sehingga meningkatkan resiliensi perekonomian kita terhadap masalah terkait ketahanan energi.
Advertisement
Aman! Inflasi Indonesia Diprediksi Tak Kena Imbas Kondisi Global
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyebut inflasi Indonesia tak akan meningkat tajam. Ini merespons kondisi global yang menantang termasuk dampak perang Rusia-Ukraina.
Wimboh membeberkan, sejumlah tantangan yang dihadapi dunia saat ini. Mulai dari perang Rusia-Ukraina, hingga kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Dengan kenaikan ini, tingkat inflasi akan terdampak dan perlahan meningkat.
“Indoneisa mudah-mudahan lah toh kalau kita menerima spillover dari kondisi tersebut kita perkirakan mudah-mudahan tidak lebih dari 4 persen. Sekarang masih dibawah 3 persen, jadi tidak ada masalah,” katanya saat memberikan Kuliah Umum di Universitas Syiah Kuala, Jumat (8/4/2022).
Ini jauh lebih baik ketimbang tingkat inflasi yang dihadapi oleh negara lain. sebagai contoh, Amerika Serikat yang tercatat mengalami inflasi hingga 7,5 persen. ini disebut Wimboh pertama kali dalam sejarah AS mencatatkan inflasi setinggi ini.
“Dan juga Eropa bahkan Turki sudah diatas 50 persen,” katanya.
Ia menyebut, yang memengaruhi ini, adalah sejumlah tantangan yang terjadi di dunia. Perang Rusia-Ukraina, kata Wimboh memperparah keadaan karena keduanya termasuk pemasok energi dan komoditas terbesar di seluruh penjuru dunia.
“Memang ini pasti distribusi terganggu, bahkan pasca covid-19 pun (sudah) terganggu. Kapal-kapal (logistik) tidak siap, sehingga kita sudah mulai bangkit ekonominya, (tapi) barang-barang kurang karena distribusinya terganggu, ditambah perang lagi,” katanya.
Akibat perang ini, harga sejumlah komoditas dan energi pun mengalami kenaikan. Terbaru, pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertamax ke angka Rp 12.500 perliter.
“Tidak heran kalau kemarin pemreitnah menaikkan harga pertamax jadi Rp 12.500 karena beban ini gak bisa dibebankan ke pemerintah semua,” katanya.
“Hal ini tantangan dan ini kedepan pasti pengusaha terganggu juga. Minyak goreng, kalau ini bukan karena impor ya tapi karena distribusi domestik,” imbuh dia.
Cegah Inflasi Meroket, Pemerintah Diminta Stabilkan Harga Pangan
Geopolitik Rusia-Ukraina mulai terasa di Indonesia. Meski tidak berdampak langsung, namun gangguan rantai pasok global salah satunya soal kenaikan inflasi menjadi ancaman Indonesia
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani menilai pemerintah masih memiliki peluang untuk menahan gejolak kenaikan harga pangan di Indonesia. Syaratnya pemerintah harus bisa memastikan tidak adanya manipulasi harga pasar dari para pemain nakal.
"Pemerintah harus memastikan tidak ada manipulasi harga pasar dari oknum-oknum di sepanjang jalur distribusi," kata Hariyadi dalam webinar bertajuk: Harga Kian Mahal: Recovery Terganggu?, Jakarta, Kamis (7/4/2022).
Menurutnya, memastikan kelancaran dan distribusi suplai pangan sangat penting. Khususnya bagi daerah yang krisis dari sisi jumlah penduduk. Kelancaran dan keterjangkauan biaya logistik pangan dapat menjadi penentu wajar atau tidaknya kenaikan harga pangan nasional.
Selain itu, pemerintah juga harus memastikan ada keseimbangan terhadap volume penawaran dan permintaan pangan nasional. Impor bahan pangan sebaiknya dilakukan ketika benar-benar dibutuhkan atau ketersediaan di dalam negeri yang tidak mencukupi. Alasannya, hal ini bisa berimplikasi pada pembenahan atau perbaikan tata kelola dan pencatatan suplai pangan nasional.
"Jika tiga hal tadi bisa dilakukan secara berkala oleh pemerintah dengan disiplin, kami cukup yakin inflasi pangan nasional bisa dicegah dna dikendalikan dengan baik tanpa membebani masyarakat," kata dia.
Advertisement