Migrasi ke BBG jadi Solusi Tekan Subsidi BBM di Tengah Mahalnya Mobil Listrik

Kenaikan harga BBM atau bahan bakar minyak saat ini dinilai waktu yang tepat bagi pemerintah untuk memperbesar penggunaan energi non-BBM, salah satunya untuk sektor transportasi

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Sep 2022, 15:30 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2022, 15:30 WIB
20150908-Mobil Berbahan Bakar Gas-Jakarta
Petugas mengisi Bahan Bakar Gas pada salah satu mobil di area kantor Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap, Bekasi, Selasa (8/9/2015). BBG dinilai lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar bensin dan diesel. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Saat ini dinilai sebagai waktu yang tepat bagi pemerintah untuk memperbesar penggunaan energi non-BBM, salah satunya untuk sektor transportasi,  seiring kenaikan harga BBM. Hal tersebut diungkapkan Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Harya S Dillon.

“Harus dimulai dengan kemauan politik yang kuat, misalnya mendeklarasikan bahwa angkutan umum di Indonesia akan 100 persen menggunakan kendaraan non-BBM pada tahun 2030. Kemarin Sekretariat Negara mengumumkan penggunaan kendaraan non-BBM untuk operasional di 5 Istana Negara. Itu layak diapresiasi, namun dampaknya tidak akan signifikan kalau tidak diikuti dengan angkutan umum,” kata dia dikutip dari Antara, Jumat (9/9/2022).

Ia mengatakan saat ini sudah banyak negara yang memfokuskan penggunaan transportasi non-BBM untuk menekan biaya sekaligus mengurangi emisi, salah satunya Prancis. Bahkan negara tersebut menjadi negara pertama yang sampai melarang iklan bahan bakar fosil.

Oleh karena itu ia mendorong pemerintah berkomitmen mengurangi penggunaan energi non-fosil tersebut. Diharapkan penggunaan energi non-fosil dapat menekan subsidi energi dan mengurangi impor BBM.

Sebagai tahap awal, transportasi umum bisa melakukan migrasi ke Bahan Bakar Gas (BBG) berjenis Compressed Natural Gas (CNG). Investasi penggunaan BBG untuk perusahaan transportasi umum masih lebih murah ketimbang menggunakan kendaraan energi non-BBM lainnya yaitu kendaraan listrik. Hal itu dikarenakan investasinya hanya di konverter CNG, katanya.

Harya mengatakan untuk mendorong lebih banyak transportasi umum menggunakan BBG, pemerintah harus mulai menambah jaringan Stasiun Pengisian BBG (SPBG) untuk memudahkan dalam pengisian dan memotivasi migrasi ke BBG.

"Kita lihat dari pengalaman TransJakarta. Banyak waktu kendaraan habis mengantri di SPBG sehingga kinerja operasional angkutan menjadi tidak optimal,” katanya.

Untuk menekan biaya energi, Harya juga menyarankan agar pemerintah memfokuskan sumber daya gas alam digunakan untuk kebutuhan industri dan sumber energi pembangkit listrik.

 

 

 

Armada Taksi BBG

Antrean Panjang Akibat Minimnya SPBG
Bajaj, taksi, dan bus Transjakarta antre mengisi BBG di SPBG Pemuda, Jakarta, Kamis (15/11). Minimnya keberadaan SPBG menyebabkan antrean panjang kendaraan yang akan mengisi BBG hingga ke pinggir jalan menimbulkan kemacetan. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sementara itu, Wakil Direktur Utama PT Blue Bird Tbk Adrianto Djokosoetono sebelumnya mengatakan Blue Bird menggenjot penggunaan kendaraan BBG lantaran lebih murah dibandingkan dengan kendaraan listrik.

Investasi pengadaan mobil listrik, menurut dia, biayanya empat kali lipat dari mobil konvensional. Itu sebabnya, armada listrik Blue Bird saat ini jumlahnya baru sekitar 60 unit.

Perusahaan transportasi tersebut saat ini sudah memiliki armada berbasis BBG sebanyak 2.300 unit atau 22 persen dari seluruh armada. Jumlah itu rencananya akan terus ditambah hingga 5 ribu unit. Dari penggunaan kendaraan non BBM, pihaknya dapat menekan biaya energi cukup besar.

“Melalui penerapan armada BBG, Blue Bird berhasil menekan beban energi hingga 40 persen,” ujarnya kepada media belum lama ini.

Di saat yang bersamaan, emisi yang dikeluarkan BBG juga lebih rendah dibandingkan BBM.

 

Tambah Jaringan SPBG

Antrean Panjang Akibat Minimnya SPBG
Sopir taksi saat menunggu antrean mengisi BBG di SPBG Pemuda, Jakarta, Kamis (15/11). Minimnya keberadaan SPBG menyebabkan antrean panjang kendaraan yang akan mengisi BBG hingga ke pinggir jalan menimbulkan kemacetan. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Harya mengatakan, untuk mendorong lebih banyak transportasi umum menggunakan BBG, pemerintah harus mulai menambah jaringan stasiun pengisian bahan bahar gas (SPBG) untuk memudahkan dalam pengisian dan memotivasi migrasi ke BBG.

"Kita lihat dari pengalaman TransJakarta. Banyak waktu kendaraan habis mengantri di SPBG sehingga kinerja operasional angkutan menjadi tidak optimal,” kata Adrianto.

Untuk menekan biaya energi, Harya juga menyarankan agar pemerintah memfokuskan sumber daya gas alam digunakan untuk kebutuhan industri dan sumber energi pembangkit listrik.

“Lalu listriknya dapat digunakan untuk kendaraan,” pungkasnya.

Infografis Alasan & Solusi Harga BBM Subsidi Naik
Infografis Alasan & Solusi Harga BBM Subsidi Naik (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya