Liputan6.com, Jakarta - Hari Kesehatan Mental Sedunia diperingati pada Senin hari ini, 10 Oktober 2022. Membahas isu tersebut, sebuah studi mengungkapkan temuan mengejutkan terkait kesehatan mental karyawan di perusahaan-perusahaan besar.
Studi yang dilakukan oleh manajer investasi amal Inggris CCLA mengungkapkan bahwa hanya tiga dari 20 perusahaan yang disurveinya menerbitkan manajemen kesehatan mental karyawan, meskipun ada bukti yang jelas bahwa langkah tersebut dapat menghemat pengeluaran perusahaan.
Dilansir dari Channel News Asia, Senin (10/10/2022) CCLA melakukan studinya pada 100 perusahaan terbesar di dunia.
Advertisement
"Mungkin tidak ada kekurangan inisiatif kesehatan mental di tempat kerja internasional, tetapi ketika datang untuk mengintegrasikan kesehatan mental ke dalam sistem dan proses manajemen formal, sebagian besar perusahaan global harus melangkah lebih jauh," kata Amy Browne, Kepala Penatagunaan di CCLA.
"Ada bukti yang jelas menunjukkan bahwa meningkatkan kesehatan mental di suatu organisasi dapat menghemat biaya, dan konsekuensi keuangan dari kegagalan untuk meningkatkan kesehatan mental perusahaan sangat besar," tambahnya.
Menurut David Atkin, Kepala Organisasi Principles for Responsible Investment yang didukung PBB, hasil studi CCLA menunjukkan bahwa kesehatan mental "masih merupakan masalah bisnis yang relatif belum matang".
CCLA mengungkap, Deloitte, salah satu firma akuntansi yang masuk kategori perusahaan Big-4, melaporkan pada tahun 2020 bahwa kesehatan mental di tempat kerja merugikan perusahaan rata-rata USD 1.900 atau sekirar Rp 29 juta per karyawan sektor swasta setiap tahun.
Kerugian Kesampingkan Isu Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja
Browne pun mengungkapkan biaya kerugian dari perusahaan-perusahaan besar dunia yang mengesampingkan isu kesehatan mental pada karyawan.
"Jika kita mempertimbangkan bahwa 100 perusahaan di studi CCLA Corporate Mental Health Benchmark Global 100 mempekerjakan hampir 19 juta orang di seluruh dunia, di antara mereka, berarti kerugiannya bisa sebesar USD 36 miliar, setiap tahun, karena gangguan kesehatan mental," papar Browne.
Jika dirupiahkan, kerugian itu mencapai sekitar 550,5 triliun.
Tetapi CCLA juga mencatat, dengan latar belakang inflasi yang melonjak dan krisis biaya hidup yang sedang berlangsung di seluruh dunia, 82 persen perusahaan telah mengambil sikap yang jelas tentang hubungan antara kesehatan mental yang baik dan upah yang adil dan kesejahteraan finansial.
Namun, kurang dari sepertiga dari perusahaan ini berbagi kebijakan formal yang secara tegas mengakui hubungan tersebut.
Advertisement
Gangguan Kesehatan Mental Bisa Timbul Akibat Perubahan Iklim
Kesehatan mental dan kesejahteraan psikososial ternyata bisa terganggu oleh perubahan iklim.
Hal ini disampaikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam keterangannya pada Sabtu 4 Juni 2022.
Menurut WHO, temuan ini sesuai dengan laporan terbaru oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), yang diterbitkan pada bulan Februari tahun ini.
IPPC mengungkapkan bahwa perubahan iklim yang meningkat pesat menimbulkan ancaman yang meningkat terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan psikososial; dari tekanan emosional hingga kecemasan, Depresi, kesedihan, dan perilaku bunuh diri.
"Dampak perubahan iklim semakin menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, dan sangat sedikit dukungan kesehatan mental khusus yang tersedia untuk orang-orang dan komunitas yang berurusan dengan bahaya terkait iklim dan risiko jangka panjang,” kata Dr Maria Neira, Direktur Departemen Lingkungan, Perubahan Iklim dan Kesehatan WHO mengutip keterangan pers pada Sabtu.
Ringkasan kebijakan WHO yang baru merekomendasikan lima pendekatan penting bagi pemerintah untuk mengatasi dampak kesehatan mental dari perubahan iklim. Salah satu pendekatan yang dimaksud yakni mengintegrasikan pertimbangan iklim dengan program kesehatan mental.
Empat pendekatan lain yang tak kalah penting dalam mengatasi dampak kesehatan mental dari perubahan iklim adalah:
-Integrasikan dukungan kesehatan mental dengan aksi iklim.
-Membangun komitmen global.
-Mengembangkan pendekatan berbasis komunitas untuk mengurangi kerentanan.
-Menutup kesenjangan pendanaan besar yang ada untuk kesehatan mental dan dukungan psikososial.
Dukungan Kesehatan Mental dalam Penanggulangan Krisis Iklim
Dampak kesehatan mental dari perubahan iklim tidak merata, kelompok-kelompok tertentu terpengaruh secara tidak proporsional tergantung pada faktor-faktor seperti status sosial ekonomi, jenis kelamin, dan usia.
Namun, jelas bahwa perubahan iklim memengaruhi banyak faktor penentu sosial yang telah menyebabkan beban kesehatan mental yang besar secara global.
Ini menjadi alasan mengapa WHO mendesak negara-negara untuk menyertakan dukungan kesehatan mental dalam upaya penanggulangan krisis iklim. Seperti yang sudah dilakukan beberapa negara perintis secara efektif.
Survei WHO tahun 2021 terhadap 95 negara menemukan bahwa hanya 9 negara yang sejauh ini memasukkan dukungan kesehatan mental dan psikososial dalam rencana kesehatan dan perubahan iklim nasional mereka.
"Dampak perubahan iklim memperparah situasi yang sudah sangat menantang untuk kesehatan mental dan layanan kesehatan mental secara global."
"Ada hampir 1 miliar orang yang hidup dengan kondisi kesehatan mental, tapi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, 3 dari 4 tidak memiliki akses ke layanan yang dibutuhkan" kata Dévora Kestel, Direktur WHO, Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Zat.
Advertisement