Rumuskan Tarif Cukai di 2023, Pemerintah Diminta Pertimbangkan Hal Ini

Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai sisi yang terlibat dalam kebijakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Okt 2022, 13:40 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2022, 13:40 WIB
20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Dalam beberapa bulan ini, sejumlah ekosistem tembakau menolak rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2023. Merujuk dokumen UU APBN 2023, pemerintah akan menaikan cukai sebesar Rp 245,4 triliun.

Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB-UB), Prof. Candra Fajri Ananda mengemukakan, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Kebijakan Ekonomi (PPKE FEB UB) tahun 2022,  merekomendasikan agar pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai sisi yang terlibat dalam kebijakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok di Indonesia.

Diantaranya adalah pemerintah perlu memperhatikan sisi tenaga kerja, penerimaan CHT, kesehatan, rokok ilegal, industri, hingga pertanian.

Menurut Prof. Candra, hasil kajian yang berjudul 'Analisa Keseimbangan Kebijakan IHT di Indonesia' tersebut menegaskan bahwa keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) legal menjadi bagian penting dalam pertimbangan kebijakan cukai di Indonesia untuk menjaga keberlangsungan IHT demi mendorong terbukanya lapangan pekerjaan dan menurunkan angka pengangguran di Indonesia.

Hal itu perlu dilakukan mengingat indikator angka prevalensi merokok usia dini telah tercapai di RPJMN yang menargetkan penurunan sebesar 8,7 persen. Pada perkembangannya, presentase penduduk merokok usia dini (10-18 tahun) telah melebihi capaian target pemerintah dari 7,2 persen (2013) menjadi 3,8 persen (2020).

"Hasil kajian itu menunjukkan bahwa kenaikan harga yang terlalu tinggi akan mengancam kesinambungan IHT yang terbukti mengalami penurunan jumlah pabrikan rokok terutama golongan 1. Pasalnya, golongan 1 memiliki tingkat sensitivitas terbesar apabila terjadi perubahan harga. Kenaikan harga rokok pada golongan 2 dan 3 memberikan kontribusi besar terhadap kenaikan peredaran rokok ilegal," kata Prof. Candra dalam keterangan di Jakarta dikutip Kamis (13/11/2022).

Merujuk hasil kajian, Prof. Candra mengatakan, secara umum kenaikan harga rokok akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan IHT dan pertumbuhan penerimaan CHT. Kenaikan harga berpengaruh secara langsung terhadap kenaikan jumlah permintaan rokok ilegal.

"Kenaikan harga rokok yang dilakukan secara terus menerus akan berdampak terhadap peningkatan peredaran rokok ilegal dan keberlangsungan IHT yang selanjutnya juga dapat meningkatkan dampak negatif bagi kesehatan konsumen rokok dan berpotensi menurunkan penerimaan negara," terangnya.

Oleh sebab itu, sambung Prof. Candra, kenaikan harga rokok bukan langkah efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Pasalnya, dampak kenaikan harga rokok terhadap peningkatan peredaran rokok ilegal dan penurunan pabrik rokok lebih besar dibandingkan dengan penurunan angka prevalensi merokok.

"Saat ini, pemerintah perlu menahan kenaikan harga rokok untuk menjaga keseimbangan pilar lain yang terlibat dalam IHT," ujar Prof. Candra.

 

Usul Tak Ada Kenaikan

Dalam Sehari Bea Cukai Kudus Berhasil Gagalkan Dua Upaya Pengedaran Rokok Ilegal
(Foto:Dok.Bea Cukai)

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo mengusulkan agar tidak ada kenaikan cukai hasil tembakau tahun 2023.

Kalaupun dinaikan, pihaknya mengusulkan angkanya setinggi inflasi. Pasalnya, kenaikan cukai ini tidak bisa diikuti secara otomatis oleh kenaikan harga. Pasti ada leg terus.

"Kalau tidak ada waktu jeda, maka ini akan mengikis margin atau barangkali akan berdampak buruk terhadap kelangsungan IHT," katanya.

Menurut Edy Sutopo, dalam 3 tahun terakhir, CHT terus digeber naik. Tahun 2020 naik sebesar 23%, tahun 2021 naik sebesar 12%, dan tahun 2022 sebesar 12 persen. Karena itu, berbagai kebijakan terhadap cukai perlu kehati-hatian, salah satu dampaknya akan mendorong meningkatnya rokok ilegal.

"IHT merupakan salah satu bantalan perekonomian nasional, di samping industri kecil menengah dan industri makanan minuman. IHT juga sudah terbukti menghadapi berbagai krisis ekonomi, termasuk di masa pandemi Covid-19 yang belum berlalu ini," terangnya. 

Edy Sutopo menambahkan, Indonesia saat ini masih membutuhkan sumbangsih IHT. Artinya, diperlukan sikap kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan yang ketat terhadap IHT berpotensi akan mematikan kelangsungan IHT. Di lain pihak, dengan pengetatan kebijakan ini, perokok tidak akan berhenti. Artinya apa? Kalau kita tidak mengisi kebutuhan rokok di dalam negeri, maka akan diisi oleh produk impor dan produk illegal.

“Kebijakan yang seimbang yang memerhatikan segala aspek kebijakan yang berkeadilan terhadap IHT sangat diperlukan. Kami sangat support terhadap penyusuan roadmap IHT yang dikomandoi pak Atong Soekirman (Kemenko Perekonomian). Roadmap ini dapat memberikan payung hukum bagi kepastian usaha ke depan,” terangnya.

 

Alternatif Barang Kena Cukai

Cukai Minuman Berpemanis Bakal Pangkas Penjualan
Pemerintah tengah mengkaji pengenaan cukai bagi minuman berpemanis dengan kisaran harga Rp 1.000-Rp 3.000.

Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mendorong pemerintah perlu segera menambah alternatif barang kena cukai (BKC) sebagai upaya mendorong peningkatan penerimaan negara, mengingat kenaikan tarif cukai rokok telah mencapai titik optimum dalam mendorong penerimaan.

Menurutnya, penerimaan cukai di Indonesia selama ini hanya mengandalkan 3 obyek BKC, yakni CHT, MEA, MMEA. Kenapa negara tidak memikirkan hal-hal yang substansial lainnya?

"Kami mendorong multi stakeholders untuk mengonsolidasikan kekuatan bersama untuk kepentingan negara yang sangat fundamental yaitu penerimaan negara yang sangat besar," tegas dia.

Politisi partai Golkar ini mengingatkan para pengambil kebijakan negara jangan sampai terkooptasoi oleh agenda-agenda global yang ingin menginfiltrasi kelangsungan eksosistem tembakau yang punya peran strategis bagi negara, seperti dorongan aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai, dan masih banyak lagi.

“Proses membajak kebijakan negara yang seperti itu harus diluruskan,” tegasnya.

Adapun, rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Prof. Hikmahanto Juwana mengingatkan ancaman yang akan dihadapi bila pemerintah tidak hati-hati melindungi kelangsungan IHT. Pertama, ancaman yang datangnya dari dalam negeri. Misalnya, maraknya rokok ilegal, penyelundupan rokok, dan lain sebagainya. Kedua, ancaman yang datangnya dari luar negeri.

“Mereka ingin mengambil pangsa pasar yang ada di Indonesia. Di Indonesia pangsa pasar sangat luar biasa dan tentu merupakan sesuatu yang seksi. Hal ini sangat mungkin ada gangguan dari luar negeri. Ini yang perlu kita waspadai,” terang Prof. Hikmahanto.

 

Semangat Kemandirian

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Prof. Hikmahanto yang merupakan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia ini mengingatkan agar pemerintah mampu merumuskan sebuah kebijakan terhadap IHT yang semangatnya kemandirian.

Ia bilang, revisi PP No. 109 tahun 2012 yang saat ini masih dibahas kementerian/lembaga terkait, itu menjadi ancaman bagi ekosistem tembakau. Padahal, keberadaan PP 109/2012 ini sudah mengakomodasi banyak perjanjian antar negara yang berkaitan dengan hasil tembakau.

Melalui perjanjian internasional, sambung dia, kemandirian/kedaulatan negara kita bisa dikerdilkan, karena mengikuti apa yang ditentukan oleh perjanjian internasional tersebut.

Prof. Hikmahanto juga menyatakan, Indonesia sudah tepat tidak mengikuti pejanjian internasional FCTC dengan tetap teguh memegang kemandirian.

“Saya tidak ingin Indonesia yang merupakan pangsa pasar besar yang memanfaatkan IHT tergantung ke negara-negara lain dan IHT kita bisa hancur. Maka itu, segala kepentingan mesti dilihat secara bersama, dan mudah-mudahan pemerintah sebagai regulator bisa membuat kebijakan yang adil buat semua,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya