Menteri Bahlil: Harga Karbon di Eropa USD 100 Tapi Indonesia Cuma USD 10, Tidak Fair

Kata Bahlil, negara-negara Eropa menginginkan harga karbon mereka lebih tinggi dari negara lain. Khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Okt 2022, 20:02 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2022, 20:00 WIB
Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2).
Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2) Kredit: Gerd Altmann via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjelaskan, sejumlah negara G20 masih berdebat mengenai pasar karbon. Isu yang diperdebatkan adalah mengenai harga karbon di Indonesia dengan negara-negara Eropa.

"Karbon ini mereka tidak setuju, khususnya tentang perjanjian paris pasal 6 tentang harga karbon," kata Bahlil di kantor Kementerian Investasi, Jakarta Pusat, Senin (24/10/2022).

Saat ini terjadi ketimpangan harga karbon di negara-negara Eropa dengan negara-negara berkembang. Seharusnya harga karbon di semua negara bisa setara.

"Di Eropa ini USD 100, kita hanya USD 10. Ini tidak fair ini standar ganda. Makanya saya minta pemerataan harga," kata dia.

Kata Bahlil, negara-negara Eropa menginginkan harga karbon mereka lebih tinggi dari negara lain. Khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Mereka menginginkan karbon yang dijual berasal dari hasil penanaman pohon. Sehingga melarang pohon dan hutan yang sudah ada sekarang tidak bisa dijual sebagai pasar karbon.

"Kita tanpa harus menanam kembali, sebagian wilayah kita masih hutan itu dapat karbon dan mereka tidak punya hutan kan," kata dia.

Berbagai argumentasi pun disampaikan berbagai negara. Namun sampai hingga akhir konferensi tidak juga menghasilkan kesepakatan.

"Berbagai argumentasi yang sangat luar biasa ini tidak menghasilkan kesepakatan utuh dan perdebatan masih berlanjut," kata dia.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

PLN Jalankan Perdagangan Karbon dengan 6 BUMN

Hutan Bakau di Pesisir Marunda Memprihatinkan
Kondisi hutan bakau di pesisir kawasan Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

PT PLN (Persero) menjalin kerja sama dengan sejumlah BUMN untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) di 2030 dan Net Zero Emission pada 2060. PLN dan sejumlah BUMN menjalankan proyek percontohan perdagangan karbon.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan PLN berkomitmen untuk mendukung target pemerintah dalam upaya transisi energi. Adapun untuk menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai dengan NDC pada 2030 sebesar 31,89 persen, PLN menyiapkan pengembangan 16 gigawatt (GW) pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT) hingga tahun 2030.

“Tanpa adanya upaya signifikan, sektor ketenagalistrikan akan menghasilkan emisi CO2e sebesar 920 juta ton per tahun hingga 2060. Namun intervensi yang dilakukan PLN akan mempersiapkan Indonesia menjadi lebih bersih untuk generasi masa depan,” ujar Darmawan dalam keterangan resmi, Kamis (20/10/2022).

BUMN yang mengikuti kerja sama ini mendukung pembentukan kapabilitas dan pilot project perdagangan karbon di lingkungan BUMN dan dengan mempertimbangkan aspek-aspek teknis, keekonomian, regulasi, dan ketentuan lainnya.

 

 

Daftar 6 BUMN

Sebagai informasi, dalam aganda State-Owned Enterprise (SOE) International Conference di Bali pada Rabu (19/10), PLN beserta 6 (enam) BUMN lainnya menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan PT Biro Klasifikasi Indonesia selaku fasilitator pada proyek pilot perdagangan karbon.

Keenam BUMN tersebut ialah Perum Perhutani, PT Indonesia Asahan Inalum, PT Perkebunan Nusantara III (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.

Selain itu, PLN bersama dengan Pupuk Indonesia juga telah menginisiasi IMIA di Special Economic Zone (SEZ) Arun Lhokseumawe melalui sebuah konsep industri hijau pada lahan seluas 120 hektar.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya