Liputan6.com, Jakarta Tekanan inflasi di zona euro atau Eropa tampaknya sudah mulai mereda, termasuk untuk semua harga inti yang penting. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Ekonom European Central Bank (ECB), Philip Lane.Â
Mengutip US News, Selasa (28/2/2023) meski tekanan inflasi sudah mereda Philip Lane memprediksi bank sentral Eropa belum akan memperkecil suku bunga sampai pertumbuhan inflasi kembali ke 2 persen.
"Ada bukti signifikan bahwa kebijakan moneter mulai berlaku," kata Lane dalam sebuah wawancara.
Advertisement
"Untuk energi, makanan, dan barang, ada banyak indikator berwawasan ke depan yang mengatakan bahwa tekanan inflasi di semua kategori tersebut akan turun sedikit," bebernya.
Sebagai informasi, ECB telah menaikkan suku bunga sebesar 3 poin persentase sejak Juli 2022 dan memastikan kenaikan setengah persentase lainnya pada bulan Maret 2023 mendatang.
Lane mengatakan suku bunga yang lebih tinggi bekerja melalui ekonomi, membebani biaya layanan dan barang inti lainnya, yang tidak termasuk BBM dan pangan.
Menurut Lane, ada riteria agar ECB bisa mengakhiri kenaikan suku bunga.
Dia mengatakan, bank sentral Eropa itu membutuhkan proyeksi inflasi yang lebih rendah melalui peramalan tiga tahun dan membuat kemajuan dalam menurunkan inflasi dasar yang sebenarnya.
Akhirnya, perlu disimpulkan bahwa kebijakan moneter berhasil.
"Kita semua setuju dengan kriteria bahwa kemajuan yang cukup dalam menangani inflasi itu penting," jelasnya.
"Ini bisa menjadi periode yang cukup tahan lama, cukup banyak kuartal," ungkap Lane, ketika ditanya berapa lama inflasi bakal bertahan.
Negara Ekonomi Terbesar Eropa Terkontraksi, Sinyal Resesi di Depan Mata?
Beberapa waktu sebelumnya, yaitu pada Januari 223 negara ekonomi terbesar di Eropa, Jerman secara tak terduga mengalami penyusutan ekonomi pada kuartal keempat 2022.Â
Seperti diketahui, Jerman dikenal luas ebagai negara ekonomi terbesar di Eropa.
Kontraksi ini semakin menunjukkan kemungkinan bahwa negara itu sudah memasuki resesi seperti yang sebelumnya diprediksi, meskipun kemungkinan terburuk sudah mereda dibandingkan yang dikhawatirkan sebelumnya.
Mengutip US News, Selasa (31/1/2023) data resmi kantor statistik federal Jerman menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) negara itu turun 0,2 persen pada kuartal IV 2022.
Padahal, di kuartal sebelumnya, ekonomi Jerman sempat tumbuh sebesar 0,5 persen yang direvisi naik dibandingkan tiga bulan sebelumnya.
Sebagai informasi, resesi secara umum didefinisikan sebagai kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut.
"Bulan-bulan musim dingin berubah menjadi sulit - meskipun tidak sesulit yang diperkirakan sebelumnya," kata kepala ekonom VP Bank, Thomas Gitzel.
"Kehancuran ekonomi Jerman yang parah tidak ada, tetapi sedikit resesi masih akan terjadi," sebutnya.
Pekan lalu, Menteri Perekonomian Jerman Robert Habeck mengatakan dalam laporan ekonomi tahunan pemerintah bahwa krisis ekonomi yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina sekarang dapat ditangani, meskipun harga energi yang tinggi dan kenaikan suku bunga membuat pemerintah tetap berhati-hati.
Situasi ekonomi Jerman diprediksi akan membaik mulai musim semi dan seterusnya, dan perkiraan PDB Jerman untuk tahun 2023 ini juga direvisi menjadi 0,2 persen, naik dari perkiraan penurunan 0,4 persen.
Sementara itu, European Central Bank (EBC) atau bank sentral Eropa telah berkomitmen untuk menaikkan suku bunga utamanya setengah poin persentase pekan ini menjadi 2,5 persen untuk mengekang inflasi di kawasannya.
Advertisement
Resesi Global Ternyata Punya Siklus, Begini Tahapannya
Indonesia tengah dihadapkan ancaman resesi 2023. Namun, banyak kalangan yang menyatakan bahwa ekonomi Indonesia akan baik-baik saja. Artinya Indonesia jauh dari resesi.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangaj (OJK) Mahendra Siregar misalnya. Dia optimis ekonomi Indonesia mampu bertahan dari ancaman global tersebut.
"Stabilitas sektor jasa keuangan tetap terjaga dan intermediasi tetap tumbuh kuat, sehingga bisa menjaga ekonomi ditengah ketidakpastian global," kata Mahendra seperti ditulis, Selasa (28/2/2023).
Namun demikian, resesi ini menjadi masalah ekonomi dunia yang sebenarnya bisa diantisipasi. Namun ini tergantung masing-masing pemerintah dan kondisi ekonomi masing-masing negara.
Mengenal Siklus Resesi
Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menegaskan, bahkan sebenarnya kondisi resesi global ini memiliki siklus.
Di mana kondisi ekonomi dunia ada masa ketika bisnis tumbuh, lalu berkembang, sampai pada puncaknya, lalu mulai menurun. Di situlah potensi resesi ekonomi terjadi.
"Ekonomi akan mengikuti, setelah ekonomi tumbuh cukup agresif ada masanya overheating, lalu inflasi, lalu suku bunga dinaikkan. Setelah suku bunga naik biasanya inflasinya mereda, tapi growth-nya juga melambat. Di situlah kita menyebutnya resesi," terangnya.
"Jadi, mengapa kita menyebut resesi global, karena negara-negara besar mengambil arah ke sana untuk melawan inflasi," tambah dia.
Indonesia Tak akan Masuk Jurang Resesi, Ini Buktinya
Perolehan keuntungan dari bank BUMN atau Himpunan Bank Negara (Himbara) tercatat mengalami kenaikan yang cukup signifikan di 2022. Perolehan positif ini disebut-sebut jadi sinyal kalau ekonomi Indonesia sedang dalam posisi yang baik.
Mengingat, adanya sejumlah ancaman resesi dan krisis ekonomi global yang juga berdampak ke Indonesia. Mengaca pada perolehan Himbara, nampaknya resesi bisa ditangkal di Indonesia.
Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto mengungkapkan hal demikian. Menurutnya, kinerja perbankan menjadi satu indikator kondisi ekonomi nasional.
"Luar biasa itu memberikan sinyal kuat ke kita bahwa Indonesia tak alami krisis ekonomi atau tak alami resesi ekonomi. Kalau mengalami krisis dan resesi, tidak mungkin tumbuhnya cemerlang," ujar dia dalam FGD bertajuk Penerapan Prinsip Prudential Banking dalam Penyaluran Kredit Bank BUMN, Senin (27/2/2023).
Advertisement