Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani (Menkeu) Indrawati mewaspadai kondisi ekonomi global yang terlihat semakin melemah. Itu tergambar dari 61,9 persen Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur negara-negara dunia mengalami kontraksi.
Sri Mulyani mencatat, PMI manufaktur kebanyakan negara dunia berada di bawah angka 50. Dan, itu terjadi pada negara-negara yang punya peran vital dalam perekonomian global.
Baca Juga
"Ini negara-negara yang memiliki peran sangat besar di dunia, yaitu Amerika, Eropa, Jerman, Perancis, Inggris, Jepang, Korea, yang merupakan negara-negara yang selama ini mempengaruhi perekonomian dan perdagangan dunia," tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Senin (24/7/2023).
Advertisement
"Sehingga pelemahan PMI negara-negara ini perlu diwaspadai, apakah ini kencenderungan akan terus melemah, dan tentu mempengaruhi kondisi dan kinerja perekonomian global," pinta Sri Mulyani.
Masih dalam lingkup PMI manufaktur, sekitar 23,8 persen negara mengalami ekspansi yang melambat. Antara lain, China, Thailand, Filipina, India, hingga Rusia.
Sementara Indonesia ada di posisi 14,3 persen negara dengan tingkat PMI manufaktur mengalami ekspansi dan akseleratif.
Sri Mulyani menyebut PMI manufaktur Indonesia berada dalam tren menanjak di atas 50, bersama dengan beberapa negara seperti Turki dan Meksiko.
"Artinya, Indonesia terus bertahan pada posisi ekspansi, dan bahkan sekarang ekspansi akselerasi. Sementara sebagian besar negara-negara yang merupakan pelaku ekonomi dunia mengalami kontraksi. Ini yang harus kita waspadai," tegas Sri Mulyani.
Sri Mulyani Ceritakan Kehebatan Indonesia, Mampu Lewati 3 Krisis Saat Negara Lain Bertumbangan
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati bercerita mengenai kehebatan Indonesia menghadapi berbagai krisis di sektor ekonomi dan Keuangan yang dihadapi dunia. Dalam hitungannya, tiga krisis mampu dihadapi dan dilewati Indonesia sampai saat ini.
Sri Mulyani menjelaskan, Indonesia mampu pulih dari tiga krisis penting dunia, yaitu krisis moneter tahun 1998, krisis keuangan global 2008, dan krisis dampak pandemi Covid-19.
“Indonesia termasuk sedikit negara yang, sesudah mengalami tiga kali krisis dan belajar dari krisis, kita bisa pulih dan mengelola krisis dengan baik,” kata Sri Mulyani dikutip dari Antara, Jumat (21/7/2023).
Keberhasilan itu disebabkan kemampuan Indonesia dalam membaca data dan belajar dari pengalaman.
Indonesia, sebagai negara, selalu berusaha hadir dalam setiap krisis. Hal itu terefleksikan dalam krisis 1998 ketika negara melakukan penagihan terhadap sektor keuangan yang hampir runtuh.
Negara juga hadir mengelola dan menstabilkan suasana global saat krisis keuangan 2008. Kemudian, seluruh instrumen negara aktif berkontribusi dalam menangani pandemi Covid-19.
“Jadi, kalau ada krisis, pasti keuangan negara mendapat peran. Maka dalam krisis itu, kami selalu menempatkan keuangan negara sebagai instrumen utama,” ujar Menkeu.
Kesiapan instrumen keuangan negara dalam mengantisipasi krisis akan terus dilanjutkan ke depannya, kata Menkeu. Bendahara Negara menjelaskan Indonesia telah belajar dari berbagai krisis keuangan yang terjadi sebelumnya, terutama terkait sektor perbankan.
Advertisement
Penyempurnaan Regulasi
Contoh upaya yang dilakukan Indonesia adalah penyempurnaan regulasi di sektor perbankan dan mengembangkan sektor keuangan bukan bank, seperti asuransi dan dana pensiun.
Keberhasilan Indonesia dalam mengelola krisis, sambung Menkeu, dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bisa tumbuh di atas 5 persen selama enam kuartal berturut-turut.
Selain itu, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sempat melampaui 3 persen karena pandemi COVID-19, berhasil diturunkan ke bawah 3 persen pada 2022. Capaian tersebut di bawah amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang menetapkan batas defisit APBN perlu kembali ke bawah 3 persen per tahun 2023.
“Ini adalah konsolidasi fiskal yang tercepat,” kata Sri Mulyani.