Liputan6.com, Jakarta Indonesia merupakan salah satu negara yang menyepakati penerimaan dana transisi energi melalui kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP).
Kesepakatan itu bernilai USD 20 miliar atau sekitar Rp. 306,5 triliun dalam dua sampai tiga tahun atau 2025 mendatang.
Baca Juga
International Institute of Sustainable Development (IISD) menilai, dana tersebut tidak akan cukup untuk membiayai keseluruhan transisi energi di Indonesia hingga mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Advertisement
“Untuk dapat membiayai keseluruhan transisi energi di Indonesia sampai mencapai net zero akan lebih besar untuk 2050 maupun 2060, bahkan berkali-kali lipat dari USD 20 miliar," kata Analis Kebijakan Energi Anissa Suharsono dalam acara Expert Panel Yayasan Indonesia Cerah di Jakarta, Senin (21/8/2023).
Nilai investasi yang diperlukan untuk energi terbarukan mencapai 23 persen saja butuh Rp 500 triliun hingga 2025. Maka dari itu, IISD menyarankan, agar pemerintah untuk tidak hanya bergantung dari pendanaan JETP saja.
"Karena pertanyaannya, apakah semua biaya itu akan seratus persen bergantung dari dana internasional atau Granz. Atau dari sumber pendanaan lain yang bisa dieksplorasi dari pendanaan publik karena kendalinya langsung dari pemerintah," ujar Anissa.
Sebagai contoh, pendanaan publik itu meliputi subsidi, insentif, tindakan dukungan, investasi oleh badan usaha milik negara (BUMN), atau pinjaman dari lembaga keuangan publik.
"Mengalihkan dukungan publik dari bahan bakar fosil ke energi bersih adalah salah satu cara untuk mengatasi kesenjangan pembiayaan energi bersih," jelas Anissa.
"Ini mengirimkan sinyal yang jelas bahwa dalam jangka pendek, ini membantu mengurangi risiko bagi investor swasta, dan mendorong investasi di proyek proyek energi bersih," paparnya.
Sementara dalam jangka menengah, pengalihan dalam pendanaan publik juga bisa mempromosikan pembelajaran sambil melakukan, membantu secara permanen mengurangi persepsi risiko dan meningkatkan volume yang lebih besar dari pembiayaan swasta pada upaya transisi energi yang sedang berlangsung.
Hitungan analis di IISD mencatat, pembiayaan pemerintah pada energi bahan bakar fosil mencapai 94,1 persen dari tahun 2016 hingga tahun 2020. Sedangkan untuk energi terbarukan hanya menyentuh 0,94 persen.
Bangun EBT, Indonesia Butuh Investasi Rp 14.889 Triliun hingga 2060
Keseriusan pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) ditunjukkan dengan menjadi salah satu negara yang pertama kali meratifikasi Paris Agreement pada tahun 2016. Salah satu komitmen transisi energi yang ditargetkan oleh Pemerintah Indonesia adalah pemanfaatan energi bersih hingga 23 persen pada tahun 2025.
Seiring upaya Indonesia untuk mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil dan merangkul sumber energi terbarukan, kemitraan strategis dengan investor internasional mendorong Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Selain mengurangi penggunaan batubara, ekosistem industri yang dapat menghasilkan baterai, seperti pertambangan nikel terus dikembangkan sebagai proyek strategis nasional.
Investasi asing di sektor energi Indonesia telah mencapai tingkat tertinggi sepanjang sejarah. Investasi ini mendukung upaya pemerintah untuk mendiversifikasi bauran energi negara dan mitigasi perubahan iklim.
Menurut data Kementerian Investasi, pada tahun 2021 Indonesia mencatat kenaikan hingga 25 persen pada investasi bidang energi baru dan terbarukan (EBT). Setidaknya hingga tahun 2060, Indonesia membutuhkan investasi hingga USD 1 triliun atau sekitar Rp 14.889 triliun (kurs 14.889 per USD) untuk mengembangkan EBT dan transisi energi.
Modal dari investor global telah memfasilitasi perkembangan pesat pembangunan infrastruktur energi terbarukan dan mendorong transfer teknologi yang memungkinkan Indonesia memanfaatkan potensi energi terbarukan yang sangat besar.
Advertisement
Investasi Global
Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro mengatakan Indonesia masih sangat memerlukan investasi global untuk mempercepat transaksi energi di Indonesia.
Jika hanya mengandalkan kekuatan domestik, hasilnya akan kurang optimal karena masih harus dibagi-bagi ke semua sektoral, sedangkan masalah investasi bukan hanya hanya di sektor pertambangan. Sehingga, dia menilai kolaborasi dengan investor global lebih baik dan lebih optimal dari berbagai aspek.
“Sebetulnya kebutuhan utamanya ada di investasi. Kalau investasi masuk ke dalam negeri, secara otomatis beberapa variabel akan tercipta. Otomatis penyerapan tenaga kerja juga akan dinimati oleh domestik. Kemudian, nilai tambah ekonomi juga akan tercipta di dalam negeri,” terang Komaidi Notonegoro, dikutip Senin (5/6/2023).
UU Ciptaker
Pemerintah Indonesia telah secara aktif memfasilitasi lonjakan investasi asing ini dengan menerapkan kebijakan dan kerangka peraturan yang menguntungkan untuk menarik investor internasional. Termasuk dengan menerapkan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang dinilai akan memperbaiki iklim investasi di Indonesia.
Namun, tantangan tetap ada di jalan dalam memastikan investasi yang berkualitas dan berdampak pada proses transisi energi menuju pengembangan ekosistem baterai. Investasi yang berkualitas dapat dilihat dari adanya proses transfer teknologi, penguatan kapasitas sumber daya manusia, dan kegiatan industri yang mementingkan aspek keberlanjutan.
Komaidi Notonegoro menambahkan untuk memaksimalkan peran perusahaan asing terhadap perekonomian di dalam negeri, Pemerintah cukup menyesuaikan dengan peta kebijakan Indonesia dalam 5,10 dan 15 tahun ke depan berdasarkan komoditas yang digarap. Contohnya, kalau berbicara tentang satu korporasi, katakanlah PT Vale Indonesia, berarti Pemerintah berbicara soal peta kebijakan subsektor mineral dan arahnya pada produksi baterai.
Advertisement