Liputan6.com, Jakarta Tarif pajak hiburan saat ini tengah ramai diperbincangkan, lantaran banyak pelaku usaha di industri hiburan yang memprotes naiknya tarif tersebut menjadi 40 persen hingga 75 persen.
Diantaranya Penyanyi sekaligus pemilik rumah karaoke InulVizta, Inul Daratista dan pengacara kondang Hotman Paris, yang menilai kenaikan tarif pajak hiburan terlalu tinggi dan justru dapat mematikan usaha para pengusaha hiburan.
Lantas bagaimana pengaturan tarif pajak hiburan yang sebenarnya?
Advertisement
Ketentuan pajak hiburan sendiri tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Jasa Kesenian dan Hiburan
Dalam aturan tersebut, jasa kesenian dan hiburan dikategorikan sebagai objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).
Dalam Pasal 58 ditetapkan tarif PBJT paling tinggi 10 persen. Namun, khusus untuk tarif PBJT atas jasa hiburan untuk diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Sementara sisanya adalah 10 persen, yang terdiri dari jasa kesenian dan hiburan meliputi tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; dan pameran.
Selanjutnya, pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran.
Kemudian, rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang.
UU HKPD
Adapun sebelum ada UU HKPD, pengaturan terkait pajak hiburan diatur dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Nomor 28 Tahun 2009. Dimana pajak hiburan dikategorikan menjadi pajak kabupaten/kota.
Pada Pasal 42 UU PDRD tertulis bahwa hiburan yang dimaksud diantaranya tontonan film; pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; dan kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya.
Selanjutnya, pameran; diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya; sirkus, akrobat, dan sulap; dan permainan bilyar, golf, dan boling.
Lalu, pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan pertandingan olahraga.
Pada Pasal 45 UU PDRD tertulis bahwa tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35 persen. Namun, khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75 persen, tanpa menyebutkan batas tarif minimal seperti di UU HKPD.
Advertisement
Pengusaha Spa di Bali Tolak Pajak Hiburan 40%, Berapa Idealnya?
Sebelumnya, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali menilai besaran tarif pajak hiburan termasuk untuk usaha spa di Pulau Dewata idealnya 15 persen agar tidak berbeda jauh dengan pajak hotel dan restoran yang 10 persen.
“Perbedaan itu jangan terlalu ekstrem, pajak hotel dan restoran itu 10 persen, sedangkan spa itu 40 persen. Kalau melihat rasionya itu 15 persen (pajak spa) sudah ideal,” kata Ketua PHRI Bali Cokorda Oka Artha Ardana Sukawati dikutip dari Antara, Selasa (16/1/2024).Ia menilai besaran tarif pajak itu merupakan amanat Undang-Undang (UU) sehingga pemerintah daerah tidak dapat melakukan intervensi.
Untuk itu, upaya peninjauan kembali di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait besaran pajak spa dan klasifikasinya ke jasa hiburan, diharapkan merevisi besaran tarif pajak usaha spa.
“Kalau kabupaten/kota tidak menindaklanjuti (aturan turunan UU) nanti menjadi temuan juga. Kami sadari kesulitan bupati, kepala daerah, mereka tidak bisa berbuat apa,” ucap Wakil Gubernur Bali periode 2018-2023 itu.
Pengusaha Spa
Dia menjelaskan pengusaha spa yang tergabung dalam Bali Spa dan Wellness Association (BSWA) yang bernaung di bawah PHRI Bali mengajukan peninjauan kembali atau judicial review UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) terkait tarif dan klasifikasi usaha spa.
Dalam UU itu, spa dikategorikan masuk jasa hiburan sehingga tarif pajaknya naik menjadi minimal 40 persen dan maksimal 75 persen.
UU itu menjadi acuan pemerintah kabupaten/kota untuk ikut menaikkan pajak spa menjadi 40 persen dari sebelumnya 15 persen, seperti yang berlaku mulai 1 Januari 2024 di Kabupaten Badung.
Sedangkan pajak makan dan minuman serta jasa perhotelan besaran tarif pajak mencapai 10 persen.
Perda Sebelumnya
Pada perda sebelumnya yang kini sudah dicabut yakni Perda Badung Nomor 8 tahun 2020 tentang Pajak Hiburan, mengatur besaran tarif pajak spa/mandi uap yang mencapai 15 persen
Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengakui sudah mendapatkan keluhan dari pelaku pariwisata khususnya sektor jasa hiburan dan spa.
Ia mengharapkan pelaku usaha tidak khawatir dan gusar karena pihaknya akan mencarikan solusi untuk memastikan kualitas dan keberlanjutan pariwisata.
Apalagi sektor pariwisata, lanjut dia, merupakan sektor utama untuk transformasi ekonomi negara.
“Oleh karena itu seluruh kebijakan termasuk pajak akan disesuaikan agar sektor (pariwisata) ini kuat,” katanya di sela konferensi pariwisata Asia Pasifik di Nusa Dua, Bali, Kamis (11/1).
Advertisement