Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menunjukkan komitmen guna mencapai target emisi nol bersih (net zero emission) melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji menjelaskan, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi CO2 dari berbagai sektor industri, seperti pembangkit listrik, industri berat, dan manufaktur.
Tutuka lantas menekankan, Perpres ini akan menjadi landasan hukum yang kuat untuk pengembangan dan penerapan CCS di Indonesia.
Advertisement
"Perpres ini akan memberikan kepastian hukum bagi investor dan pelaku usaha yang ingin terlibat dalam kegiatan CCS," kata Tutuka pada acara penutupan bulan K3 Nasional di Kantor Lemigas Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Menurut dia, pemerintah optimistis CCS dapat memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi Indonesia. Selain membantu mengurangi emisi karbon, CCS juga dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor-sektor terkait seperti teknologi, manufaktur, dan jasa.
Selain itu, Perpres ini juga mengatur dua jenis. Perizinan utama untuk kegiatan CCS yakni izin eksplorasi yang diberikan untuk kegiatan survei dan investigasi potensi penyimpanan CO2 di bawah permukaan bumi. Selanjutnya, izin operasi penyimpanan yang diberikan untuk kegiatan penyuntikan, penyimpanan, dan pemanfaatan CO2 di lokasi penyimpanan permanen.
"Jadi ada izin selama eksplorasi dan izin selama operasi penyimpanan, ada 2 izin yang seamless kalau dilakukan langsung, tapi kalau terhenti setelah eksplorasi bisa, kalau akan dilanjutkan juga bisa, jadi tidak mengulang dari awal kalau dilanjutkan ke izin operasi penyimpanan," imbuh Tutuka.
Kementerian ESDM juga turut mengundang seluruh pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil, untuk bekerja sama dalam mendukung implementasi Perpres ini.
"Melalui kerjasama yang solid, Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam penerapan CCS di kawasan Asia Tenggara dan berkontribusi secara signifikan dalam upaya global untuk memerangi perubahan iklim," pungkas Tutuka.
BEI Buka Peluang Perdagangan Karbon Internasional di Indonesia
Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi sinyal perdagangan internasional dapat dilakukan di bursa karbon Indonesia.
Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menuturkan, berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 14, unit karbon yang bisa diperdagangkan di bursa karbon bermacam-macam, salah satunya adalah unit karbon yang berasal dari luar negeri.
“Unit karbon dari luar negeri bisa dicatatkan di Bursa Karbon Indonesia. Itu kalau mengacu kepada POJK 14,” kata Jeffrey saat ditemui Liputan6.com di Jakarta, Jumat (26/1/2024).
Meski demikian, untuk mengimplementasikan perdagangan unit karbon internasional di bursa karbon nasional harus ada koordinasi dan integrasi POJK 14 dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pihak KLHK kemudian akan memperhitungkan pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia sebelum memutuskan untuk mengizinkan unit karbon luar negeri diperdagangkan di Indonesia, ataupun sebaliknya.
Di luar itu, Jeffrey juga menyebut transaksi bursa karbon terkini sudah mencapai di atas 500.000 tCO2 ekuivalen. Untuk itu, BEI berusaha untuk meningkatkan aktivitas perdagangan di bursa karbon nasional.
"Kami akan mendorong emiten-emiten di BEI supaya lebih berpartisipasi di bursa karbon Indonesia,” tandasnya.
Advertisement
OJK Sebut Pengembangan Bursa Karbon Masih Potensial pada 2024
Sebelumnya diberitakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut pengembangan bursa karbon masih berpotensi terus tumbuh dengan baik pada 2024.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi menuturkan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan dari bursa karbon.
Salah satunya adalah meningkatkan unit karbon yang ditransaksikan, baik penambahan unit karbon dari skema karbon kredit atau Sertifikasi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) dan juga potensi penambahan jenis unit karbon dari skema allowance atau Persetujuan Teknis Batas atas Emisi pelaku Usaha (PTBAE-PU).
Ia melanjutkan, hal itu perlu didukung seluruh sektor industri dalam pemenuhan target net zero pemerintah. Saat ini, semakin banyak industri yang memiliki target net zero, baik industri umum, transportasi, perbankan dan juga pertambangan.
“Kedua, faktor perdagangan luar negeri juga diharapkan dapat segera direalisasikan karena melihat potensi indonesia yang mempunyai cadangan karbon dari sektor hutan dan laut. Tentunya yang tidak kalah penting adalah penerapan pajak karbon yang menjadi sangat penting karena dapat mendukung keseluruhan ekosistem perdagangan karbon,” ujar dia dalam konferensi pers RDK OJK, Selasa (9/1/2024).
Di sisi lain, ia menyebutkan, pihaknya terus berkoordinasi dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sebagaimana diketahui, Kementerian ESDM berperan sebagai penerbit dan KLHK berperan sebagai yang mengatur Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI), di mana peraturan yang berlaku, semua perdagangan unit itu harus melalui sistem registrasi SRN PPI.
“Diharapkan dalam waktu dekat, terintegrasi antara sistem yang ada di KESDM yaitu Apple Gatrik dengan SRN PPI dapat segera terwujud,” tandasnya.