Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dari 11 persen pada 2025 dapat berdampak ke tren tabungan masyarakat.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Yudhi Sadewa. Ia menilai, tren tabungan masyarakat, terutama pada segmen simpanan di bawah Rp 100 juta berpeluang sulit meningkat karena ada tarif PPN 12 persen.
Advertisement
Baca Juga
"Sepertinya ketika sinyalnya daya beli, dicurigai menurun, kebijakan kenaikan pajak tidak terlalu akurat. Tapi saya enggak tahu, mungkin memang pemerintah lagi butuh uang untuk menambal anggarannya, mungkin juga bagus kalau uangnya langsung dipakai untuk program yang berguna untuk masyarakat,” ujar Purbaya saat ditemui usai LPS Morning Talk di Jakarta, Selasa, (17/12/2024), seperti dikutip dari Antara.
Advertisement
Purbaya menuturkan, tren tabungan masyarakat tidak akan langsung turun pasca penerapan tarif PPN 12 persen, tetapi cenderung mengalami kesulitan untuk terus meningkat.
"(Tabungan) enggak anjlok, tapi saya melihat sulit untuk naik kencang," ujar dia.
Ia menuturkan, saat pemerintah menerima dana masyarakat, dibutuhkan waktu untuk kembali ke sistem ekonomi yakni melalui mekanisme pembelanjaan.
Sehingga jika dana baru dibelanjakan empat bulan kemudian, dampaknya terhadap ekonomi bakal tertunda.
"Yang jelas itu kan kalau uang masuk ke pemerintah, kan enggak langsung masuk ke sistem. Let's say empat bulan di pemerintah sebelum dibelanjakan, dampaknya kan terlambat empat bulan atau lebih kan? Ya itu paling enggak dalam jangka panjang akan memengaruhi tren tabungan," kata dia. Ia pun mengakui saat ini tren tabungan masyarakat sudah cenderung menurun jika mengacu pada berdasarkan survei LPS. "Jadi kelihatannya akan sulit untuk naik," tutur dia.
Prediksi Pertumbuhan DPK
Sementara, Purbaya memprediksi pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan masih berada di angka 6 persen hingga 7 persen.
"DPK kita prediksi kita 6-7 persen, sampai sekarang belum kita ubah. Tapi tentunya kan itu akan adaptif tergantung perkembangan dari waktu ke waktu," tuturnya.
Purbaya menyatakan bahwa dampak negatif kebijakan pajak terhadap tabungan kemungkinan tidak akan terasa dalam jangka pendek.
Hal Ini disebabkan karena dana pemerintah dibelanjakan dengan tepat guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Adapun pemerintah resmi menetapkan kenaikkan tarif PPN 12 persen yang berlaku mulai 1 Januari 2025.
Kenaikkan tarif PPN 12 persen ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Advertisement
Alasan Sri Mulyani Tetap Naikkan PPN 12 Persen per 1 Januari 2025
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan keputusan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 telah dipertimbangkan secara bertahap dan matang. Kebijakan PPN 12 persen sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021.
Sri Mulyani menjelaskan, Undang-Undang HPP, yang disahkan pada 29 September 2021, tidak hanya mengatur peraturan perpajakan, tetapi juga mencakup kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Salah satunya adalah melalui penyesuaian tarif PPN secara bertahap.
Kenaikan tarif PPN sebelumnya, dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, dirancang untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi. Begitu pula dengan kenaikan berikutnya dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
“Waktu itu, bahkan setelah pandemi, kita menaikkan tarif dari 10 persen ke 11 persen pada 1 April 2022. Kemudian DPR memutuskan penundaan kenaikan berikutnya hingga 1 Januari 2025. Hal ini memberi masyarakat waktu untuk pulih dengan memadai,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).
Kebijakan Pro Rakyat dalam Undang-Undang HPP
Menkeu menegaskan, dalam pembahasan Undang-Undang HPP, pemerintah tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat, khususnya kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Melalui undang-undang ini, pemerintah memberikan fasilitas berupa pembebasan atau pengurangan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat. Hal ini meliputi sektor pangan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan jasa sosial lainnya. Tujuannya adalah untuk meringankan beban masyarakat dan memastikan akses yang lebih adil terhadap barang dan jasa esensial.
“Hampir seluruh fraksi setuju bahwa negara harus menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Keberpihakan ini diwujudkan melalui fasilitas PPN untuk barang kebutuhan pokok, baik berupa barang maupun jasa yang dikonsumsi masyarakat luas,” kata Sri Mulyani.
Detail dan Pertimbangan Matang
Sri Mulyani menambahkan bahwa selama proses pembahasan Undang-Undang HPP, semua kebutuhan masyarakat telah dipertimbangkan secara rinci dan mendalam.
“Jadi, saat membahas Undang-Undang HPP, kami benar-benar memikirkan secara detail kebutuhan masyarakat dan situasi yang ada,” ujar dia.
Advertisement