Korban Penganiayaan Anak Bos Toko Roti Ungkap 2 Kali Laporan Ditolak Polsek, Sempat Ditipu Pengacara

Korban penganiayaan anak bos roti dua kali ditolak polisi, ditipu pengacara, dan jual motor demi cari keadilan

oleh Nurul Diva diperbarui 18 Des 2024, 11:54 WIB
Diterbitkan 18 Des 2024, 11:52 WIB
George Sugama Halim, anak bos toko roti yang menganiaya karyawati, ditangkap di Hotel Anugerah, Sukabumi, Jawa Barat pada Senin, 16 Desember 2024. (Istimewa)
George Sugama Halim, anak bos toko roti yang menganiaya karyawati, ditangkap di Hotel Anugerah, Sukabumi, Jawa Barat pada Senin, 16 Desember 2024. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Kasus penganiayaan yang dilakukan anak bos toko roti di Jakarta Timur terus menjadi sorotan publik, setelah korban melaporkan lika-liku perjuangannya mencari keadilan. Dwi Ayu Darmawati (DA), karyawati di toko roti Lindayes mengalami kekerasan saat menolak perintah pelaku, yang membuatnya dilempari berbagai benda, termasuk kursi dan patung. Akibat insiden tersebut, DA mengalami luka serius di bagian kepala.

Meski telah melaporkan kasus ini ke dua polsek berbeda, DA harus menerima penolakan dengan alasan teknis. Tidak hanya itu, perjuangannya semakin berat setelah ia menjual motor satu-satunya untuk menyewa pengacara, yang kemudian menipunya dan menghilang tanpa jejak. Kondisi ini membuat DA semakin terpuruk dalam usahanya mencari keadilan.

Perjuangan DA mendapatkan perhatian luas setelah ia hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI. Di sana, dirinya menceritakan seluruh kejadian yang menimpanya. Berikut informasinya, dirangkum Liputan6 dari berbagai sumber, Rabu (18/12).

Kronologi Penganiayaan: Penolakan yang Berujung Amarah

Penganiayaan terhadap DA terjadi pada Oktober 2024, ketika pelaku, George Sugama Halim (GSH), memerintahkan korban untuk melakukan tugas di luar tanggung jawabnya. Setelah perintah tersebut ditolak, GSH melampiaskan amarah dengan melemparkan kursi, patung, dan benda lainnya ke arah DA, yang menyebabkan luka di kepala.

Korban kemudian mencoba melaporkan insiden ini ke Polsek Rawamangun. Namun, laporan tersebut ditolak dengan alasan tempat kejadian perkara (TKP) berada di luar wilayah hukum polsek tersebut. Korban kemudian diarahkan ke Polsek Cakung, yang juga menolak laporan dengan alasan serupa, sehingga DA harus menuju Polres Jakarta Timur.

"Waktu itu dilempar, kena kepala, terus di situ saya sudah berdarah dan megangin kepala. Terus mungkin dia udah melihat darah, lalu kabur. Saya akhirnya bisa keluar toko," kata korban, dilansir dari Youtube Merdeka.com

2 Kali Ditolak Polisi Bikin Laporan

DA mengaku sempat tidak diterima saat ingin membuat laporan di Polsek Rawamangun dan Polsek Cakung. DA menjelaskan ia ditolak lantaran TKP. 

"Habis kejadian itu langsung lapor ke Polsek Rawamangun, tapi di situ enggak bisa nanganin. Akhirnya dirujuk ke Cakung dan di Cakung juga enggak bisa nanganin juga," ungkap DA dikutip dari merdeka.com pada Rabu (18/12).

Pengakuan DA ini disampaikan ketika hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Selasa (17/12). Setelah tidak diterima di Polsek Rawamangun dan Cakung, Dwi mengaku diarahkan pihak kepolisian untuk membuat laporan ke Polres Metro Jakarta Timur.

Korban Sempat Didatangi Pengacara, Ternyata Utusan Keluarga

Setelah ditolak dua kali, DA akhirnya membuat laporan di Polres Jakarta Timur dengan bantuan keluarga dan teman-temannya. Kemudian, dirinya menjalani visum untuk memperkuat bukti laporan. 

Tak berapa lama, korban kemudian dikirim pengacara oleh pihak pelaku atas nama Linda yang merupakan owner dari toko roti tempatnya bekerja. Namun, mulanya, DA tidak mengetahui jika pengacara berasal dari pihak pelaku karena pengacara tersebut mengaku berasal dari LBH dan merupakan utusan dari Polda.

"Terus ada cerita juga yang tentang pengacaranya, saya sempet dikirimin pengacara dari pihak pelaku, tapi saya awalnya enggak tahu kalau itu dari pihak pelaku, dia ngakunya dari LBH utusan dari Polda. Kurang tahu (LBH-nya apa)," jelas DA dikutip dari merdeka.com pada Rabu (18/12).

Saat pertemuan di Polres untuk pertemuan BAP, pengacara tersebut lantas memberi tahu bahwa dirinya merupakan utusan dari pemilik usaha roti. Akhirnya, pihak korban mengganti pengacara namun justru tertipu.

Jual Motor Demi Pengacara yang Ternyata Penipu

Dalam upayanya mempercepat proses hukum bersama pengacara baru, DA kemudian menjual motor satu-satunya untuk menyewa pengacara. Sayangnya, pengacara yang disewanya ternyata menipu dan menghilang tanpa jejak.

Kejadian ini semakin memperburuk kondisi korban yang sudah tertekan secara finansial dan emosional, ditambah kelanjutan kasus yang belum menemui solusi hukum yang berpihak kepadanya.

"Pengacara ini, kalau saya tanya tentang bagaimana kelanjutan kasusnya, dia selalu bilang, sedang diproses, sedang diproses. Di situ, dia setiap ada info selalu ke rumah dan minta duit. Mama saya sampai jual motor satu-satunya untuk ini," kata DA. 

Viralnya Kasus Penganiayaan Anak Bos Roti yang Mengaku Kebal Hukum

Setelah insiden ini menjadi viral di media sosial, perhatian publik terhadap kasus ini semakin meningkat. Banyak netizen menyuarakan dukungan kepada korban dan mengecam lambatnya penanganan oleh pihak kepolisian. Tekanan dari masyarakat akhirnya memaksa aparat hukum untuk mempercepat proses penyidikan.

Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama DPR, DA menceritakan bagaimana pelaku sempat mengklaim dirinya kebal hukum, yang semakin memperkuat opini publik tentang ketidakadilan yang dialami korban. Pernyataan ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan sering kali digunakan untuk mengintimidasi korban, terutama dalam kasus yang melibatkan pihak dengan latar belakang ekonomi kuat.

Kasus ini mencerminkan pentingnya peran media dan tekanan publik dalam mendorong keadilan, terutama ketika korban menghadapi hambatan birokrasi yang signifikan.

Pelajaran dari Kasus Ini

Kasus DA menunjukkan kelemahan dalam sistem hukum dan perlindungan korban di Indonesia. Hambatan yang dialami korban, mulai dari penolakan laporan hingga manipulasi oleh pengacara, menjadi pengingat akan pentingnya reformasi dalam penanganan kasus kekerasan.

Selain itu, kasus ini juga menunjukkan perlunya edukasi dan pemberdayaan korban agar mereka dapat memahami hak-haknya dan menghindari eksploitasi dalam proses hukum. Perlindungan hukum yang lebih tegas dan cepat menjadi kebutuhan mendesak untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.

Perhatian terhadap korban kekerasan harus menjadi prioritas, tidak hanya dalam sistem hukum, tetapi juga dalam upaya kolektif masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi semua pihak.

1. Mengapa laporan korban penganiayaan sering kali ditolak polisi?

 

Penolakan laporan biasanya disebabkan oleh alasan teknis seperti TKP di luar yurisdiksi atau kurangnya bukti awal. Namun, prosedur ini sering kali mempersulit korban untuk mendapatkan keadilan.

2. Bagaimana cara melindungi diri dari penipuan pengacara?

Pastikan pengacara memiliki kredibilitas dan latar belakang yang jelas. Menggunakan pengacara yang terdaftar di organisasi resmi dapat membantu menghindari penipuan.

3. Apa yang bisa dilakukan jika laporan ditolak oleh polisi?

Korban dapat mengajukan laporan ulang ke kantor polisi yang sesuai dengan yurisdiksi TKP atau melibatkan bantuan lembaga hukum seperti LBH.

4. Apa langkah pemerintah untuk melindungi korban kekerasan?

Pemerintah telah menyediakan layanan seperti P2TP2A dan LBH untuk mendukung korban kekerasan. Namun, implementasinya masih perlu ditingkatkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya