Liputan6.com, Jakarta - Investor berbondong-bondong mencari aset safe haven setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan serangkaian tarif impor baru pekan lalu. Beberapa investor kini dikabarkan melirik Yen Jepang, obligasi, serta beberapa aset lainnya.
"Yen Jepang akan menjadi kandidat yang bagus, dan mungkin yang terbaik untuk bersembunyi dari ketegangan perdagangan dan resesi AS, karena sejumlah alasan yang sudah umum diketahui," kata Ebrahim Rahbari, kepala strategi suku bunga di Absolute Strategy Research, dikutip dari CNBC International, Selasa (8/4/2025).
Rahbari menjelaskan bahwa, nilai Yen Jepang tergolong tak setinggi mata uang dunia lainnya saat ini, dan kemungkinan penurunan suku bunga The Fed akan mempersempit perbedaan suku bunga terhadap Yen.
Advertisement
"Meskipun Jepang merupakan eksportir terkemuka, ketergantungannya secara keseluruhan pada perdagangan kini lebih rendah, terutama karena kebijakan fiskalnya longgar," jelasnya.
Yen Jepang telah menguat sekitar 3% terhadap dolar AS sejak 2 April 2025, menurut data dari LSEG.
Selain Yen Jepang, menurut Rahbari, mata uang Fanc Swiss juga berpotensi menjadi kandidat kuat lainnya sebagai lindung nilai investasi.
Franc Swiss sendiri telah terapresiasi lebih dari 3% menjadi 0,846 terhadap dolar AS, level tertinggi baru dalam enam bulan.
Pergerakan tersebut terjadi saat mata uang lain di seluruh dunia melemah.
Pakar strategi lain menyuarakan pandangan bahwa Yen Jepang dan Franc Swiss merupakan pilihan terbaik untuk meredam dampak tarif Trump.
"Baik Yen Jepang maupun Franc Swiss merupakan mata uang yang baik untuk membantu mengurangi reaksi mendalam pasar terhadap tarif," ungkap Matt Orton, kepala solusi konsultasi dan strategi pasar di Raymond James Investment Management.
Namun, Orton memperkirakan Franc Swiss akan bertindak sebagai lindung nilai yang lebih baik daripada Yen Jepang, mengingat ketidakpastian seputar jalur kenaikan suku bunga Bank of Japan.
Yen Dinilai Berkinerja Lebih Baik Saat Krisis Global
Yen biasanya berkinerja lebih baik pada saat resesi atau krisis global, kata Jeff Ng, kepala strategi makro Asia di Sumitomo Mitsui Banking Corporation.
"Bahkan jika dunia terhindar dari pendaratan keras, (Yen) juga dapat berjalan dengan baik karena BOJ mungkin akan menaikkan suku bunga lebih lanjut terhadap gelombang pelonggaran bank sentral," katanya.
Namun, ia memperingatkan bahwa ekonomi Jepang juga menghadapi hambatan dari tarif Trump, khususnya dari tarif pada produk mobil dan komponen.
Selain itu, ekonomi yang melambat berarti bahwa BOJ akan lebih cenderung mempertahankan suku bunga rendah, yang membuat Yen tetap lemah.
"Pertanyaan yang lebih menarik adalah apakah mungkin ada lindung nilai yang lebih "eksotis" selain dari safe haven klasik, kata Rahbari, yang menyebut real Brasil sebagai pilihan.
"Idenya adalah bahwa itu murah, memiliki daya dukung yang tinggi dan relatif kurang terekspos pada perdagangan global," kata Rahbari, menambahkan bahwa real telah menjadi salah satu mata uang yang berkinerja terbaik tahun ini.
Advertisement
BI Siaga Hadapi Dampak Tarif Trump: Stabilitas Rupiah Jadi Prioritas
Bank Indonesia (BI) menyatakan kesiapannya menghadapi potensi dampak dari kebijakan ekonomi global yang memicu gejolak di pasar keuangan.
Hal ini disampaikan menyusul pengumuman kebijakan tarif baru oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada 2 April 2025, yang dinilai menimbulkan ketidakpastian global dan berimbas pada pergerakan pasar finansial dunia, termasuk Indonesia.
Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menegaskan bahwa Bank Indonesia terus melakukan pemantauan secara intensif terhadap dinamika pasar keuangan, baik di level global maupun domestik.
"BI terus memonitor perkembangan pasar keuangan global dan juga domestik pasca pengumuman kebijakan tarif Trump yang baru pada 2 April 2025," kata Denny dikutip Selasa (8/4/2025).
Pria yang akrab disapa Denny ini menyampaikan, bahwa pengumuman kebijakan tarif tersebut telah menimbulkan reaksi cepat di pasar keuangan global. Ketegangan semakin meningkat setelah Pemerintah Tiongkok mengumumkan langkah retaliasi berupa tarif impor balasan pada 4 April 2025.
"Pasca pengumuman tersebut dan kemudian disusul oleh pengumuman retaliasi tarif oleh Tiongkok pada 4 April 2025, pasar bergerak dinamis dimana pasar saham global mengalami pelemahan dan yield US Treasury mengalami penurunan hingga jatuh ke level terendah sejak Oktober 2024," jelasnya.
Waspada Pelemahan Rupiah
Situasi ini menciptakan tekanan terhadap mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah. Oleh karena itu, Bank Indonesia menyatakan akan terus berada di garis depan untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Komitmen tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan strategi triple intervention, yaitu intervensi terkoordinasi di tiga sektor utama pasar keuangan.
