Pemerintah menyindir pengusaha tambang yang enggan membangun pabrik pemurnian (smelter) di Indonesia. Padahal jika dipikir lebih jauh, investasi pembangunan smelter justru akan memberikan keuntungan berlipat bagi para pengusaha tersebut.
"Memang kalau melihat data, pada 2013 ekspor bahan mentah senilai US$ 12 miliar, tapi akan turun di 2014 karena kebijakan ini. Tapi kalau orang membangun smelter pendapatan akan meningkat," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa usai Rakor Evaluasi Kebijakan di kantornya, Jakarta, Kamis (6/1/2014).
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia melaporkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) mengalami kerugian hingga Rp 45 triliun sejak pemerintah memberlakukan larangan ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014.
Menurut Hatta, para pengusaha tambang seharusnya tidak berpikir jangka pendek. Kebijakan larangan ekspor mineral mentah, pembangunan smelter sampai pengenaan bea keluar mineral olahan sebesar 60% pada akhirnya akan berdampak positif terhadap kinerja keuangan perseroan serta perekonomian negara dalam jangka panjang.
"Kalau pengusaha itu cerdas, dia pasti bangun smelter. Dan dia akan untuk ke depannya. Jadi jangan berpikir pendek," saran dia.
Hatta mengakui, pembangunan industri pengolahan dan pemurnian mineral memang membutuhan investasi cukup besar. Namun, hal itu tak mesti dilakukan perusahaan seorang diri. Pengusaha tambang bisa menjalin kerja sama dengan mitra untuk membiayai proyek pembangunan smelter.
"Bisa kerjasama dengan yang lain, jadi dia mungkin tidak akan mengalami kerugian karena barangnya tidak bisa basi dan ada di dalam perut bumi. Jadi menurut saya mulailah mengatur rencana bisnis dengan baik," tandas Hatta.
Sekadar informasi, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan dan Bulog, Natsir Mansyur mengatakan, diberlakukannya Undang-Undang yang mengamanatkan pelarangan ekpor mineral mentah tersebut membuat para pengusaha tidak melakukan aktivitas produksi karena tidak bisa mengekspor hasi produksinya.
Hal tersebut berdampak pada finansial para pengusaha, sehingga para pengusaha tidak bisa membayar kewajibannya. "Karena kredit macet leasing tidak bisa bayar, ya sudah tidak keluar itu barang. Kalau mau disita, sitalah," kata Natsir.
Natsir mengungkapkan, perusahaan tambang pemegang IUP kesulitan membangunan pabrik pengelolaan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri. Karena itu, perusahaan tambang memilih untuk menghentikan kegiatan produksi ketimbang harus merugi terus menerus.
"Apalagi kebijakan Bea Keluar (BK) progresif olahan mineral yang diterapkan Menteri Keungan (Menkeu) sangat menyulitkan perusahaan tambang," katanya. (Fik/Shd)
Baca juga
"Memang kalau melihat data, pada 2013 ekspor bahan mentah senilai US$ 12 miliar, tapi akan turun di 2014 karena kebijakan ini. Tapi kalau orang membangun smelter pendapatan akan meningkat," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa usai Rakor Evaluasi Kebijakan di kantornya, Jakarta, Kamis (6/1/2014).
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia melaporkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) mengalami kerugian hingga Rp 45 triliun sejak pemerintah memberlakukan larangan ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014.
Menurut Hatta, para pengusaha tambang seharusnya tidak berpikir jangka pendek. Kebijakan larangan ekspor mineral mentah, pembangunan smelter sampai pengenaan bea keluar mineral olahan sebesar 60% pada akhirnya akan berdampak positif terhadap kinerja keuangan perseroan serta perekonomian negara dalam jangka panjang.
"Kalau pengusaha itu cerdas, dia pasti bangun smelter. Dan dia akan untuk ke depannya. Jadi jangan berpikir pendek," saran dia.
Hatta mengakui, pembangunan industri pengolahan dan pemurnian mineral memang membutuhan investasi cukup besar. Namun, hal itu tak mesti dilakukan perusahaan seorang diri. Pengusaha tambang bisa menjalin kerja sama dengan mitra untuk membiayai proyek pembangunan smelter.
"Bisa kerjasama dengan yang lain, jadi dia mungkin tidak akan mengalami kerugian karena barangnya tidak bisa basi dan ada di dalam perut bumi. Jadi menurut saya mulailah mengatur rencana bisnis dengan baik," tandas Hatta.
Sekadar informasi, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan dan Bulog, Natsir Mansyur mengatakan, diberlakukannya Undang-Undang yang mengamanatkan pelarangan ekpor mineral mentah tersebut membuat para pengusaha tidak melakukan aktivitas produksi karena tidak bisa mengekspor hasi produksinya.
Hal tersebut berdampak pada finansial para pengusaha, sehingga para pengusaha tidak bisa membayar kewajibannya. "Karena kredit macet leasing tidak bisa bayar, ya sudah tidak keluar itu barang. Kalau mau disita, sitalah," kata Natsir.
Natsir mengungkapkan, perusahaan tambang pemegang IUP kesulitan membangunan pabrik pengelolaan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri. Karena itu, perusahaan tambang memilih untuk menghentikan kegiatan produksi ketimbang harus merugi terus menerus.
"Apalagi kebijakan Bea Keluar (BK) progresif olahan mineral yang diterapkan Menteri Keungan (Menkeu) sangat menyulitkan perusahaan tambang," katanya. (Fik/Shd)
Baca juga
Pengusaha Kukuh Tolak Bea Keluar Mineral Mentah
Ekspor Bijih Mineral Distop, Pengusaha Tambang Rugi Rp 45 Triliun
Wamen ESDM: Silahkan Saja Bos Freeport Protes
Advertisement