Liputan6.com, Jakarta Operator seluler mulai melakukan pemblokiran kartu SIM yang belum teregistrasi sejak 1 Maret 2018. Pemblokiran tahap pertama ini akan berjalan hingga 31 Maret 2018, di mana kartu SIM yang belum teregistrasi tidak akan bisa melakukan panggilan dan SMS keluar (outgoing).
Data terbaru dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) yang diperoleh dari operator seluler mencacat, Senin (5/3/2018), ada sekitar 323 juta kartu SIM yang sudah teregistrasi. Sementara total kartu SIM yang beredar di Indonesia ada sekitar 360 juta.
"Sejauh ini data yang kami peroleh sudah lebih dari 323 juta kartu SIM yang terdaftar dan diperkirakan dalam waktu dekat mencapai 325 juta," kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemkominfo Ahmad M Ramli kepada Tekno Liputan6.com via sambungan telepon.
Advertisement
Dari data tersebut bisa disimpulkan bahwa ada sekitar 37 juta kartu SIM yang belum teregistrasi (terancam diblokir).
Jumlah tersebut terbilang cukup besar. Namun, anehnya belum ada keluhan massal dari masyarakat maupun warganet soal pemblokiran tersebut. Apakah 37 juta kartu SIM itu adalah nomor sekali pakai atau digunakan untuk kejahatan, seperti modus 'Mama Minta Pulsa' sehingga tak lagi terpakai?
Fakta:Â
Menanggapi hal tersebut Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Merza Fachys, menuturkan bukan berarti kartu SIM yang belum teregistrasi itu hanya digunakan sekali pakai.
"Bisa jadi si pemilik kartu SIM itu memang tidak niat daftar dan kartu SIM sedang memasuki masa tenggang. Mereka mungkin berpikir kartu SIM itu enggak akan dipakai lagi, ada di laci, dibuang, ditaruh di dompet, dan lain-lain. Itu merupakan siklus kehidupan kartu SIM yang wajar-wajar saja," paparnya.
Merza menyebut memang ada pengguna yang sering gonta-ganti nomor atau pindah ke operator seluler berbeda. "Banyak orang yang gonti-ganti kartu SIM, misalnya saya merasa ingin pindah ke operator seluler lain," ucapnya.
Merza berujar jika dibandingkan dengan 360 juta kartu SIM yang beredar seharusnya (kartu SIM yang dipakai untuk kejahatan) tidak banyak. Akan tetapi, jumlah yang tidak banyak tersebut meresahkan masyarakat.
"Jumlah kartu SIM yang dipakai untuk kejahatan kemungkinan tidak banyak, namun hal itu sangat meresahkan masyarakat," ucapnya.
Pria yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur Smartfren itu berharap, masyarakat sudah aware dengan aksi kejahatan seperti penipuan yang dilakukan kelompok atau orang yang tak bertanggungjawab, baik via SMS atau telepon.
"Yang lebih bahaya adalah smartphone itu dipakai untuk menyebar hoax, ancaman, dan komunikasi terkait narkoba. Polisi bisa melacaknya, tetapi karena nomor-nomor itu registrasinya dengan data invalid, maka tidak ada petunjuk jelas siapa yang bertanggungjawab atas tindak kejahatan itu," ujar Merza menambahkan.
Karena tidak menggunakan nomor identitas, Merza melanjutkan, orang bisa dengan seenaknya memakai kartu SIM tersebut.
"Kalau sekarang kan registrasi kartu SIM sudah menggunakan identitas jelas (NIK dan KK). katakanlah kartu SIM dipakai untuk menipu, polisi tahu nomornya dan bisa tanya, bisa tahu alamatnya, dan jelas siapa orangnya," pungkasnya.
Di sisi lain, Ramli menyebut perkiraan jumlah kartu SIM yang beredar tersebut memang sangat tinggi. Program registrasi ini salah satunya bertujuan untuk mengetahui data pasti.
"Data itu memang begitu tinggi, mengingat angka registrasi yang sekarang ini tak hanya berasal dari registrasi ulang, tetapi banyak pengguna yang baru melakukan pendaftaran pertama kali," ujarnya menjelaskan.
Untuk itu, ia menyebut jumlah nomor yang teregistrasi nantinya dapat menunjukkan data pasti jumlah kartu SIM aktif. Sebab, data tersebut sudah divalidasi oleh Direktorat Jenderal Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
"Dengan registrasi ini kami juga ingin mengurangi penggunaan kartu SIM yang sekali pakai buang. Karenanya, saya mengingatkan agar pengguna kartu prabayar segera melakukan pendaftaran ulang," tutur Ramli.
Kesimpulan: SEBAGIAN BENAR