Yusi Avianto: Aku Ingin Pembaca Gembira Baca Raden Mandasia

Yusi menceritakan seluk-beluk novelnya, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, yang memenangi Kusala Sastra Khatulistiwa 2016.

oleh Sulung LahitaniFadjriah Nurdiarsih diperbarui 24 Nov 2016, 19:45 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2016, 19:45 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Sejak awal didirikan pada 2001, Kusala Sastra Khatulistiwa atau KSK (dulu Khatulistiwa Literary Award) dirancang sebagai anugerah sastra dari komunitas sastra untuk para penulis. Hingga kini, KSK tetap bertahan sebagai refleksi kehendak kebanyakan orang dalam komunitas sastra.

Untuk tahun 2016, novel Raden Mandasia, si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom diganjar sebagai pemenang dari kategori fiksi. Novel perdananya ini diapresiasi luas karena memiliki kebaruan dalam unsur tema dan bercerita.

Belum banyak memang karya yang dilahirkan penulis kelahiran Semarang, 9 November 1968 ini. Selain Raden Mandasia, Rumah Kopi Singa Tertawa (2011) merupakan buku fiksinya berupa kumpulan cerpen yang terbit lebih dulu.

Namun demikian, dengan memenangi penghargaan prestisius dalam ajang KSK, menarik untuk mengulik lebih dalam proses kreatif mantan wartawan yang kini mendirikan penerbitan Banana Publishing. Tiga hari setelah kembali dari Negeri Paman Sam untuk mengikuti Iowa International Writing Program, ia meladeni kami: Fadjriah Nurdiarsih, Sulung Lahitani, dan Karmin Winarta.

Berikut bincang-bincang Liputan6.com bersama Yusi Avianto Pareanom pada Sabtu (20/10/2016) di Coffewar, Kemang.

Yusi Avianto Pareanom

Bagaimana ide awal untuk membuat Raden Mandasia?

Sebenarnya, jika berbicara tentang Raden Mandasia, ini terkait dengan novelku yang tidak kunjung selesai. Judulnya Anak-Anak Gerhana yang bercerita tentang anak-anak yang besar di masa Orde Baru. Selama pengerjaan yang satu itu, aku menemukan banyak sekali kebuntuan. Mungkin karena beberapa bagian terlalu personal buatku. Maka aku lalu membuat Raden Mandasia, yang sebenarnya adalah proyek sampingan, tapi lalu makan waktu juga dalam pengerjaannya.

Di saat yang sama, aku tertarik dengan Babad Tanah Jawa. Aku juga ingin membuat Oedipus-nya Jawa (ingat Watugunung yang menikahi ibunya sendiri), tapi tidak mau terlalu persis juga.

Karena bosan dengan kebuntuan tersebut, apa yang membuat aku tidak bisa melanjutkan menulis Anak-Anak Gerhana, kemudian aku olah sedemikian rupa dengan bumbu Babad Tanah Jawa menghasilkan sesuatu yang sama sekali berbeda. Tak kopyok jadi satu. Ya Raden Mandasia inilah hasilnya.

Pokoknya aku ingin membuat karya yang bisa kuaniaya sesukaku.

Anda menyebut kisah Raden Mandasia ini sebagai dongeng. Bisa Anda jelaskan lebih lengkap?

Jadi begini. Meski fiksi, aku ingin membuat satu karya yang memiliki bangunan yang kuat. Aku ingin pembaca percaya dengan apa yang aku tulis.

Karena itu, meski Raden Mandasia ini seperti dongeng, tapi aku juga melakukan riset untuk menguatkan di beberapa bagian.

Karena itu dalam novel berkali-kali disebut ini kisah bualan, tapi karena bagus betul maka kita berharap kisah ini nyata…

Ya, soalnya buatku pribadi, aku tak mau menyusahkan pembaca. Sebab pembaca itu sebenarnya berinvestasi. Berinvestasi uang kalau dia beli, atau kalau dia pinjam dia berinvestasi waktu dan tenaga untuk membaca. Maka aku merasa sangat bersalah jika ada bualan yang tidak meyakinkan.

Misalnya saja, untuk melukiskan bagaimana proses berlayar dengan baik, aku sampai pergi ke Perairan Masalembo. Di sana, aku belajar tentang pembuatan kapal sampai ikut berlayar selama seminggu. Tujuannya riset ini ya agar aku bisa mendeskripsikan dengan baik ceritaku.

Tapi jangan dibayangkan aku berlayar seperti Mandasia, ya. Tak seheroik itu. Benar-benar berbeda. Ha-ha-ha.

Raden Mandasia ini pernah muncul dalam cerpen. Apakah memang sedari awal cerpen tersebut memang diniatkan menjadi novel?

Oh iya. Sebenarnya begini ya, karena aku anak Teknik, meski aku tidak bekerja di bidang itu dan cari uang dari Teknik, tetapi cara berpikirnya kupakai.

Saat menulis, aku selalu membayangkan bentuk akhirnya seperti apa. Bangunannya kupikirkan, set-nya kupikirkan, dan ornamen-ornamennya kutambahkan.  Aku membuat dan memakai outline meskipun saat menggunakannya tidak berurutan. Misalnya aku bisa menulis dari Bab 10 dulu atau dari bab yang kusukai. Nanti kan ada proses re-writing atau editing, baru dihaluskan lagi.

Untuk yang baru belajar menulis sebenarnya lebih aman pakai outline dan dikerjakan secara kronologis.

Perubahan karakter Sungu Lembu menarik. Semula berapi-api lalu menjadi lebih bijak. Bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?

Sebenarnya cerita pendewasaan adalah sesuatu yang universal. Bagaimana anak-anak muda melakukan pencarian dirinya, itu hal yang biasa. Mungkin ini yang membuat karakter Sungu Lembu dekat dengan pembacanya. Karena pembaca merasa seperti bercermin dengan diri mereka sendiri.

Ini adalah kisah tentang anak muda pada usia rawan yang berusaha menemukan dirinya sendiri di tengah dunia. Ini kegelisahan yang awet karena merupakan persoalan semua orang. Jika dia berubah, perubahan itu diakibatkan segala hal yang dia lihat sendiri. Dia lihat dari dekat bahwa tidak semua Gilingwesi seperti yang dia pikirkan. Dia yang tadinya sangat sok jagoan dan berpendapat membunuh itu wajar akhirnya mengalami pergolakan sendiri.

Lagipula setiap manusia pada dasarnya unik. Kalau dalam dunia penulisan, aku hanya mencoba membuat karakter yang bulat.

Banyak pembaca protes karena tokoh perempuan dalam novel ini terlalu pasrah. Ada pula yang menyamakan Nyai Manggis dengan Nyai Ontosoroh tapi versi 2016. Tanggapan Anda?

Kalau soal tafsir pembaca, itu bebas ya. Tapi kalau dibilang pasrah, aku rasa itu kurang tepat juga. Mereka sesungguhnya melawan, tapi melawan dalam batas ruang yang sanggup mereka lakukan. Sebab, kalau disamakan dengan konteks melawan zaman sekarang, tentu tidak cocok.

Kemudian ada yang tanya lagi, kenapa setiap tokoh laki-laki bernasib celaka. Lah, ya ini kan zaman celaka. Lagipula semua laki-laki memang bernasib celaka sejak dilahirkan (Yusi tertawa).

Bahkan dalam Babad Tanah Jawa, tokohnya mati semua. Makanya di akhir novel kubilang, “Kalau ini kunamai Babad Tanah Jawa, pasti banyak orang marah-marah”. Ya, intinya aku hanya bermain-main sajalah.

Dalam novel ini, banyak kosakata asing di telinga. Tapi ketika dicari di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tersebut sebenarnya ada cuma kurang akrab. Apa ada kesengajaan atau misi tertentu?

Aku tidak ada maksud menggiring pembaca mempelajari kosakata yang jarang digunakan. Yang lebih tepat, aku berusaha menghindari penggunaan kata serapan dari bahasa asing, misalnya bahasa Inggris. Aku tidak memakai informasi, tapi keterangan; tidak memakai situasi, tapi keadaan.

Ini juga terkait dengan setting dalam cerita. Karena ceritanya kan ada di masa lalu, jadi kurang tepat kalau menggunakan istilah asing. Lagipula sebenarnya aku ingin menantang diriku sendiri jika ada kosakata yang lebih menarik, mampu tidak?

Sebenarnya jika kau cermati pada bagian ketika aku menggambarkan pakaian Nyai Manggis, aku betul-betul menghindari istilah asing. Dan itu kan bisa dijadikan pedoman bagi para pengamat mode atau desainer yang merasa bahasa Indonesia tidak cukup kaya.

Siapa penulis yang Anda sukai dan berpengaruh terhadap gaya kepenulisan Anda?

Waduh, terlalu banyak. Susah kayaknya. Tidak adil kalau mesti disebutkan satu saja. Aku lebih suka untuk menyebutnya bahwa aku mengambil hal-hal yang baik dari penulis-penulis tersebut untuk kemudian menjadikannya sebagai suaraku sendiri. Jadi kalau terlacak terpengaruh dari penulis yang bagus ya tidak apa-apa.

Harapan Anda dari pembaca yang telah membaca buku ini?

Ya, enggak berharap muluk-muluk. Aku ingin orang yang sudah membaca bukuku merasa gembira. Itu saja.

Kalau ada intrepretasi yang berbeda ya tidak apa-apa. Dari sana kan nanti ada diskusi dan terbuka pembicaraan lebih lanjut.

 Apa rencana proyek menulis ke depannya?

Aku sedang berusaha merampungkan novel Anak-Anak Gerhana. Selain itu, aku juga sedang menulis novel baru. Judulnya Sang Pengantin, tentang pelaku bom bunuh diri.

Menang KSK dengan novel pertama, bagaimana perasaan Anda?

Biasa saja. (Yusi tertawa). Tapi aku bukan tipe orang yang heboh. Aku berharap dengan memenangi KSK, novel ini akan menemukan pembaca-pembaca baru.

Terakhir, nih. Kalau boleh tahu, hadiah menang KSK untuk apa?

Ya dipakai untuk biaya hidup, untuk naik taksi, untuk ngopi, untuk beli beras. Untuk beli kebutuhan sehari-hari-lah. Uang dipakai untuk beli apa. Begitu saja, gampang.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya