Liputan6.com, Jakarta - Bukan rahasia lagi kalau Indonesia bagian timur menyimpan kekayaan bahasa yang melimpah. Dari 733 bahasa daerah yang berhasil diidentifikasi Badan Pengembangan dan Perlindungan Bahasa (2017), lebih dari separuhnya berada di bagian timur Indonesia. Tingginya keberagaman bahasa di sana rupanya menarik perhatian banyak peneliti asing.
Baca Juga
Advertisement
James T Collins dan Aone van Engelenhoven ialah dua di antara peneliti tersebut. Profesor Collins sudah lama malang melintang dalam penelitian bahasa-bahasa di nusantara. “Pertama ke Indonesia tahun 1969. Saya butuh waktu 10 tahun untuk mempersiapkan penelitian saya di Maluku,” kata Collins yang saat itu menjadi narasumber acara “Discussion Forum on Nusantara Studies” di kampus UI Depok, Selasa (28/11/2017).
Profesor yang fasih berbahasa Indonesia itu lantas menceritakan pengalamannya “berburu” data bahasa-bahasa di daerah terpencil di Maluku bagian utara. “Saya meneliti bahasa Taliabo (di Pulau Seram, bagian barat Maluku) tanggal 2 Januari sampai 7 Februari 1979. Sekitar satu bulan di sana, lihat langsung masyarakat, bertanya langsung. Saya menggunakan daftar kata, (hingga) terkumpul 500 kata,” kata Collins dalam bahasa Indonesia.
“Ada cerita unik. Ternyata, di Kampung Soboyo yang saya datangi waktu itu, mereka punya banyak istilah untuk ‘babi’. Ketika saya tanya apa ‘babi’ dalam bahasa mereka, mereka balik bertanya, babi di mana? Karena ternyata babi di rumah, babi di hutan, atau babi kampung beda-beda. Jadi, saya peneliti, saya catat dua-duanya,” ia menjelaskan yang disambut tawa peserta seminar.
“Itu juga masih ada banyak lagi. Babi rusa mereka sebut ‘guan’, tapi kalau babi jantan sudah besar ‘logon’, banyak sekali,” Collins menambahkan. Selama 20 tahun meneliti di sana, Collins menemukan bahwa hanya ada satu bahasa di Taliabo.
“Orang Belanda bilang ada tiga bahasa di Taliabo, tapi yang saya temukan hanya ada satu bahasa di sana. (Ini) Berdasarkan penelitian dan pengakuan masyarakat setempat di Taliabo,” katanya.
Uniknya bahasa di wilayah Maluku juga mendapat perhatian Aone van Engelenhoven. Pengajar Universitas Leiden ini ternyata tertarik dengan budaya setempat, salah satunya sung language atau bahasa yang dinyanyikan.
Dalam kesempatan yang sama, Van Engelenhoven menjelaskan, sung language ini ternyata memiliki sistem bunyi dan tata bahasa yang sederhana. Bahasa yang dinyanyikan tersebut dianggap sebagai warisan budaya Kerajaan Luang. Misalnya, nyanyian dalam upacara pernikahan, pemakaman dan perpisahan, atau pidato lainnya.
Pria yang memiliki darah Maluku dari sang ibu ini menjelaskan, penelitiannya fokus pada tiga bahasa, yakni Oirata, Leti, dan Letwurung di Maluku Barat Daya. Bukti adanya tradisi lisan di sana ialah topologi narasi dan artefak (bukti fisik).
Van Engelenhoven tak lupa memberikan contoh salah satu sung language yang diambil dari bahasa Letwurung (Lewier, 2011) sebagai berikut.
Rio reryo upa ul lire// Ke reryo ame ul kote// Am mesa no yeri waityor// Upo Rayo rweweke mutir. Yang artinya: mereka mengamati bahasa para leluhur// mereka melihat dunia nenek moyang// sendirian kita berlutut// Tuan Raja memeriksa apa yang kamu putuskan.
“Para penyanyi itu tahu kapan (lagu) dinyanyikan, tapi tidak tahu apa artinya,” ucap pengajar Universitas Leiden itu. Ia menambahkan, “Ketika mulai bernyanyi, mereka tidak boleh berhenti. Tapi mereka tahu itu harus dinyanyikan. Kalau tidak, akan kena sakit."
Pada akhirnya, sung language tidak sekadar nyanyian. Lebih dari itu, Van Engelenhoven menegaskan, sung language adalah sebuah budi bahasa. Di dalamnya ada nilai-nilai sopan santun dan tata krama yang dapat terus disuarakan dan diturunkan dari waktu ke waktu antargenerasi.
Tak hanya itu, bagi Van Engelenhoven, teks bahasa yang dinyanyikan dapat menghubungkan dunia, yakni dunia realita dan dunia cerita.
Bahasa Daerah dalam Situasi Kritis
Meski begitu, kedua peneliti, Collins dan Van Engelenhoven, menyadari bahwa bahasa daerah (terkhusus di bagian timur Indonesia) banyak yang berada dalam situasi kritis. Bagi Collins, kalau masyarakat lokal sudah malu atau enggan bercerita dalam bahasa daerah, itu adalah tanda-tanda bahasa yang sakit.
“Bahasa daerah di Bacan (salah satu daerah di Maluku) sudah dikuasai oleh generasi muda. Kalau mereka tidak tahu lagi bahasa daerah, lama-kelamaan eksistensi bahasa (daerah) bisa terancam,” kata Collins.
Kehilangan bahasa daerah mungkin tidak ada kerugiannya secara materi atau ekonomi. Pengajar Universiti Kebangsaan Malaysia itu menjelaskan, orang mempelajari suatu bahasa bisa saja karena ada motif ekonomi di baliknya, seperti untuk bekerja, berbisnis, atau untuk belajar di negara tersebut. Namun, hal itu tidak terjadi dalam bahasa daerah.
Baginya, kehilangan bahasa daerah memang tidak ada ruginya. Namun, ia menambahkan, tidak semua hal di dunia ini diukur dengan materi. Kehilangan bahasa daerah adalah kerugian yang tidak ternilai.
Advertisement