KOLOM BAHASA: Kata yang Mendiskriminasi Gender

Kata-kata seperti 'pelacur', 'cerewet', dan 'gosip', kerap diasosiasikan dengan perempuan dan berkonotasi negatif atau kasar.

oleh Reza Deni Saputra diperbarui 11 Nov 2017, 09:30 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2017, 09:30 WIB
Kolom Bahasa
Kolom Bahasa

Liputan6.com, Jakarta Apa yang kita pikirkan tentang bahasa secara awam tentu adalah fungsi dasarnya, yakni sebagai alat komunikasi antarmanusia. Entah itu secara lisan atau tulisan, bahasa menjadi perangkat utama manusia dalam menyampaikan suatu maksud, ungkapan, gagasan, atau bahkan ideologi. Karena manusia merupakan makhluk sosial, tentu komunikasi antarmanusia terjadi dalam lanskap suatu komunitas atau wilayah masyarakat tertentu.

Dari sana, kita akan berangkat sedikit lebih jauh, di mana fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam masyarakat, sudah pasti memiliki variasi yang beragam. Ragam bahasa yang digunakan oleh kelompok ibu-ibu dalam suatu arisan, tentu berbeda dengan yang dipakai oleh kelompok laki-laki di sebuah acara dangdutan. Bisa dikatakan, selain gender, variasi bahasa tentu menyebar ke ranah yang lain, semisal pekerjaan, usia, atau bahkan agama.

Namun, yang menjadi persoalan adalah, variasi bahasa tersebut cenderung muncul dengan pembawaan yang tidak netral, dan bahkan cenderung diskriminatif.

Anindita S Thayf, salah satu novelis dan esais asal Yogyakarta, menyinggung beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang mengarah ke arah yang diskriminatif. Ia menulis dengan mengerucutkan pandangannya ke persoalan gender. Misalnya, kata "pelacur", "cerewet", dan "gosip", kerap diasosiasikan dengan perempuan dan berkonotasi negatif atau kasar.

Bahkan, kata "perempuan" pun bisa mengacu demikian. Pernah dengar istilah "perempuan sundal", "perempuan nakal", "perempuan jahat", "perempuan jalang", "perempuan simpanan"? Bisa dibayangkan bagaimana sebuah kata yang harusnya bersifat netral, justru mengarah ke sebuah definisi yang mengerikan.

Itulah mengapa diskriminasi, menurut Anindita, merupakan sesuatu yang dibuat dengan alasan yang tidak relevan dan sebagian besar mengada-ada. Dan diskriminasi pada bahasa, menurutnya, adalah bentuk yang bersembunyi dalam istilah seksisme.

Dalam laman Badan Bahasa, Ganjar Harimansyah menulis artikel dengan judul Perempuan dan Bahasanya: Cermin Pengaruh Jenis Kelamin dan Faktor Pilihan Berbahasa dan Mitos di Sekitarnya. Pada artikel tersebut, kita bisa melihat bahwa laki-laki dan perempuan memanglah berbeda dalam penggunaan bahasa.

Dalam ranah sosiolinguistik, pada umumnya, pembahasan terkait penggunaan bahasa antara laki-laki dan perempuan ditumpukan pada berbagai macam konteks yang membangunnya. Konteks itu bisa bermacam-macam dan bersifat relatif.

Semisal, kalimat “Seto menikahi Sekar” bisa kita anggap sebagai suatu kalimat yang wajar, memenuhi kaidah dalam konteks struktur dan budaya. Kita berpikir bahwa laki-laki memang akan selalu menikahi calon pasangannya. Lalu bagaimana jika Sekar diletakkan sebagai subjek menggantikan Seto?

Agak riskan sebenarnya ketika membedah suatu kalimat yang menyembunyikan nilai-nilai tertentu. Sama halnya seperti Anindita saat memaparkan kata-kata yang cenderung seksis dan diskriminatif.

Lingkaran Patriarki

Kita hanya bisa berasumsi bahwa jika konsep masyarakat Indonesia masih berada pada lingkaran patriarki, kecil kemungkinan bagi perempuan menjadi subjek dan laki-laki menjadi objek. Singkatnya, jika merujuk kalimat di atas, tidak mungkin perempuan menikahi laki-laki, sama seperti tidak mungkin kata siswi diletakkan di depan kata siswa, atau kata karyawati dipakai untuk mencakup semua kalangan pekerja kantoran.

Namun, semakin berkembang zaman, bahasa dan gender tentu kembali ditelusuri dengan lebih terbuka. Mariana Amirudin, dalam Kolom Bahasa Tempo pada 12 Januari 2015, menulis bahwa bahasa perlu menjadi ruang politik gender.

Situasi di mana bahasa ternyata didominasi oleh kaum maskulin dengan konsep patriarki, membuat para pemikir perempuan dan gerakan emansipasioner berusaha untuk membongkar beberapa kata yang cenderung memiliki makna negatif, lalu kembali membentuk makna dari kata tersebut sehingga menciptakan citra yang baru, yang lebih positif, yang lebih eksis.

Sebuah upaya untuk memperbaiki kata-kata yang bermakna diskriminatif, yang cenderung tidak setara dan berkonotasi kasar, memang butuh waktu yang tidak sebentar. Sembari terus mempelajari seluk-beluk bahasa dan kaitannya dengan kehidupan, Shakespeare pernah mengingatkan: Apalah arti sebuah nama? Andai kata kita memberikan nama lain untuk bunga mawar, toh ia akan tetap berbau wangi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya