Liputan6.com, Jakarta Bahasa Indonesia secara formal lahir sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Saat itulah pada mulanya, seluruh utusan pemuda dari berbagai daerah berjanji untuk “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Namun, sesungguhnya kata "Indonesia" itu sendiri sudah dikenal jauh sebelum Sumpah Pemuda dideklarasikan.
Berdasarkan penelusuran, istilah “Indunesia” pertama kali diperkenalkan JR Logan pada 1850 dalam tulisannya di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia Volume IV. Logan adalah redaktur jurnal tersebut. Dia merujuk Indunesia pada kata “Hindia” dan “Nesos” dari bahasa Yunani yang berarti ‘kepulauan di Hindia’.
Advertisement
Baca Juga
Awalnya “Indusia” mengacu pada wilayah antara Australia dan Tiongkok. Nama Indonesia lantas dipakai oleh pribumi Indonesia, yakni Suwardi Suryaningrat—yang juga dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Ia menggunakan nama itu untuk sebuah biro pers bernama Indonesische Persbureau di Belanda pada 1913. Ki Hajar Dewantara menggunakan nama “Indonesisch” sebagai pengganti “Indisch” (Hindia).
Yang lebih mengejutkan, kajian awal yang menandai dan menguatkan identitas Indonesia sebagai bangsa dan bahasa termaktub dalam buku An introduction to Indonesian Linguistics, Being Four Essays oleh Renward Brandstetter pada 1916, jauh sebelum Sumpah Pemuda dideklarasikan.
Pada 1908, organisasi Perhimpunan Hindia atau Indische Vereeniging (IV) berdiri. Melalui organisasi ini, mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda bertemu dan berkomunikasi.
Kemudian, Perhimpunan Hindia berkembang dan lebih memusatkan perhatiannya pada kegiatan politik. Hal tersebut berdampak pada nama Indonesia yang awalnya merupakan kajian etnografi dan geografi menjadi nama politis.
Seiring berjalannya waktu, nama Indonesia mulai banyak digunakan oleh para tokoh kemerdekaan Indonesia. Nama Indonesia juga mulai banyak digunakan sebagai nama organisasi dan nama media pers, seperti majalah Indonesia Merdeka (1924).
Kongres Bahasa II
Pada Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo—10 tahun setelah Sumpah Pemuda—disepakati perlunya suatu perubahan dalam gramatika dan penyerapan istilah asing dalam bahasa Indonesia. Namun, soal ejaan, para anggota kongres sepakat belum perlu ada pembaruan. Ejaan Van Ophuijsen pun tetap dipakai.
Sejumlah tokoh penting kemerdekaan dan para cendekiawan turut menghadiri kongres ini, seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Syarifuddin, M Yamin, Sanusi Pane, dan K Soetan Pamoentjak.
Menggenapi keputusan Kongres Bahasa Indonesia I untuk mengadakan kongres lanjutan, diadakanlah Kongres Bahasa II di Medan pada 28 Oktober-2 November 1954. Kota Medan dipilih sebagai tempat Kongres karena menurut Mr Muh Yamin, Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (PPK) pada waktu itu, di kota itulah bahasa Indonesia dipakai dan terpelihara.
Berbeda dengan Kongres Bahasa Indonesia I yang diselenggarakan atas prakarsa pribadi atau perseorangan, Kongres Bahasa Indonesia II ini diselenggarakan oleh pemerintah, yaitu Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan.
Selain dihadiri oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Pengajaran Muhammad Yamin, tokoh-tokoh bahasa Indonesia, para sastrawan dan budayawan, Kongres Bahasa Indonesia II diresmikan Presiden Pertama RI Sukarno.
Sejumlah keputusan penting dihasilkan dalam Kongres Bahasa II. Salah satu hal yang paling menonjol adalah rencana pembaruan dasar-dasar ejaan bahasa Indonesia dengan huruf Latin. Dari Kongres Bahasa II inilah lahir keputusan yang jadi cikal-bakal Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Di samping soal ejaan, antara lain turut dibahas pula bahasa dalam perundang-undangan dan administrasi, bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah dan kamus etimologi Indonesia, serta bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari.
Kongres Bahasa II nyatanya sungguh berdampak pada perjalanan bahasa Indonesia sebagai sebuah bahasa resmi. Delapan belas tahun kemudian, tepatnya pada 16 Agustus 1972, Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto meresmikan penggunaan EYD melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR. Sejak itu pula, pemakaian EYD sebagai ejaan resmi dikuatkan dengan Keputusan Presiden No 57 Tahun 1972.
Advertisement
Ejaan yang Disempurnakan
Sebelumnya, Ejaan Republik dipakai cukup lama, yakni sekitar dua dasawarsa, hingga akhirnya diganti dengan keputusan presiden tahun 1972 dengan nama Ejaan yang Disempurnakan. Saat itu diterbitkan pula buku Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan sebagai patokan pemakaian ejaan tersebut.
Selain melewati Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954, penggantian ejaan sebelumnya ke Ejaan yang Disempurnakan (EYD) juga melewati berbagai peristiwa penting, di antaranya pembentukan badan/panitia penyusun peraturan ejaan yang praktis bagi bahasa Indonesia tahun 1956--1957, dan penyusunan program pembakuan bahasa Indonesia secara menyeluruh tahun 1967.
EYD begitu populer hingga saat ini, walau sudah digantikan oleh Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) 2015. Salah satu penyebab EYD begitu populer karena memang ejaan ini dirumuskan pada rentang waktu yang cukup panjang selama 18 tahun. Bahkan EYD edisi kedua (tahun 1988) dan ketiga (2009) masing-masing diterbitkan berdasarkan keputusan dan peraturan menteri dengan perevisian dari edisi sebelumnya.
Perubahan dari Ejaan Republik ke EYD, antara lain terjadi pada huruf yang digunakan. Huruf-huruf tersebut di antaranya adalah huruf "j" menjadi "y" dan huruf "tj" menjadi "c". Contohnya kata "menjuruh" yang mengalami perubahan menjadi "menyuruh" dan kata "setjertjah" menjadi "secercah".
Perevisian tersebut merupakan upaya pemantapan sistem tulis atau ejaan dari edisi sebelumnya. Selain itu, revisi itu juga bertujuan agar EYD dapat menampung perubahan sistem penulisan kata/istilah dalam bahasa Indonesia yang terjadi akibat perkembangan penggunaan bahasa Indonesia sebagai dampak kemajuan budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi, dikutip dari laman Badan Bahasa.