Liputan6.com, Jakarta - Ketika matahari masih menyembul malu, seorang wanita paruh baya yang berprofesi sebagai guru turun dari halte busway Pulomas Bypass, usai menempuh perjalanan dari Pondok Gede. Lalu, wanita bernama Yustina Anastasia Periyanti ini memikul ransel dan tas jinjingnya menyambangi trotoar Pulomas menuju sekolah swasta—tempatnya mengajar. Yustina sangat akrab dengan dunia anak-anak dan remaja. Ia konsisten mengabdikan dirinya sebagai guru dan kini ia telah mengajar selama 17 tahun.
Baca Juga
Advertisement
Namun hal yang menarik, Yustina tak hanya mengajar materi pelajaran Bahasa Indonesia di kelas tingkat SMP, tapi ia mencurahkan hati dan telinganya untuk setiap anak didiknya. Biasanya, usai mengajar, Yustina menyempatkan diri untuk membaca keluh-kesah dan cerita dari anak-anak didiknya di sebuah buku yang bernama ‘Buku Refleksi’.
Buku itu ditulis oleh anak-anak usai jam belajar selesai. Yustina belajar untuk mengenali kepribadian, hobi, bakat, kecemasan, dan berbagai hal dari anak didiknya melalui buku itu. Wawasan Yustina yang luas dan sifatnya yang supel juga memudahkan dirinya untuk berbaur dan masuk ke dalam obrolan anak-anak untuk menggali potensi terpendam yang ada dalam diri mereka. Sebagai seorang guru senior, Yustina berusaha untuk menjadi sahabat bagi para anak didiknya. Bahkan, ia pun tak gengsi belajar dari murid-muridnya.
Buktinya, tak sedikit dari anak-anak didiknya yang telah lulus, kembali ke sekolah untuk bertemu guru yang tak terlupakan ini. Salah satu alumninya menjadi penulis skenario di sebuah perusahaan start up bidang pendidikan. Alumni itu merasa terpanggil untuk berkarya menjadi penulis sejak duduk di kelas 9.
Selanjutnya
Semua berawal dari dukungan sosial yang dikerahkan oleh Yustina di kelas cerpen dan rapat OSIS. Alumni yang semula tak percaya diri ini perlahan belajar menjadi pemimpin di acara OSIS. Yustina berhasil menularkan semangat ke anak-anak didiknya untuk mengejar cita-cita sesuai hati kecil mereka.
Di samping berprofesi sebagai seorang guru, Yustina juga giat dalam memberikan dukungan sosial untuk anak-anak pejuang kanker dalam komunitas Peduli Kasih. Komunitas ini berawal dari bagian pelayanan Cancer Care Yayasan Pelayanan Kasih.
Sejauh ini, Komunitas Peduli Kasih yang beranggotakan dua puluh relawan secara rutin mengadakan berbagai acara seperti outing, buka puasa bersama, halal bihalal, untuk anak-anak penderita kanker dan berbagai gangguan organ kronis dari rumah singgah Sedekah Rombongan, Rumah Sakit Cipto Mangun kusumo, dan Pejuang Hati, serta beberapa rumah singgah di sekitar RSCM.
Advertisement
Selanjutnya
Yustina bersama teman-teman dari Komunitas yang berdiri pada 1 September 2016 ini rutin melakukan kunjungan setiap bulan ke berbagai rumah singgah yang menampung anak-anak penderita kanker beserta keluarganya. Mayoritas dari mereka datang dari daerah-daerah terpencil dengan latar belakang yang beragam dan membutuhkan dukungan psikologis.
Debora Basaria, seorang psikolog klinis anak dari Klee mengutip teori dari Sarafino mengungkapkan individu dengan terminal illness, seperti penderita kanker membutuhkan dukungan sosial atau social support agar dapat merasakan kebahagiaan. Terdapat empat jenis dukungan sosial, yaitu dukungan instrumental, dukungan emosional, dukungan informasi, dan dukungan penghargaan.
Sebagai bentuk kepedulian Yustina kepada anak-anak pejuang kanker, ia bersama teman-teman dari Komunitas Peduli Kasih dan Generasi Milenial memberikan dukungan sosial dengan menggelar acara WOW DAY dengan tema ‘Berbagi Rasa, Berbagi Bahagia’ di Taman Legenda, Taman Mini Indonesia Indah pada 27 Juli 2019. Acara ini juga digelar dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional.
Selanjutnya
Setibanya di Taman Mini, puluhan anak pejuang kanker turun dari bus pariwisata dan tampak tak sabar untuk segera menjelajahi area bermain. “Hore! Kita boleh main itu?” Tanya salah seorang pejuang kanker cilik yang menunjuk wahana bianglala, disusul dengan tawa dan sorakan girang dari teman-temannya yang lain.
Hati Yustina terenyuh saat melihat pemandangan indah itu. Sebagian dari anak-anak kanker ada yang duduk di kursi roda dan perlu pendampingan, namun setidaknya mereka masih bisa menikmati hari dengan duduk di dalam bianglala, didampingi oleh relawan dari komunitas.
Yustina turut berbahagia melihat anak-anak pejuang kanker yang dapat menghirup udara segar dan menikmati sebuah pemandangan baru yang penuh warna. Anak-anak pejuang kanker menyaksikan keindahan danau, taman, cerahnya langit, dan warna-warni wahana permainan lainnya dari kursi bianglala.
Advertisement
Selanjutnya
Ada juga yang bermain komedi putar, jalan-jalan di taman, bersenda gurau, beristirahat di bawah tenda yang sejuk bersama Yustina hingga bernyanyi lagu anak-anak dengan musik ceria. Meskipun tidak semua wahana dapat dimainkan oleh para pejuang kanker cilik, setidaknya jalan-jalan sejenak di taman ditemani para relawan sudah membuat hati anak-anak melompat girang.
Mungkin bagi sebagian orang bermain adalah hal biasa, namun bagi para pejuang kanker itu adalah kebahagiaan yang tak ternilai. Momen seperti ini jarang dapat dinikmati oleh anak-anak pejuang kanker, karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit dengan pemandangan seperti infus, dokter, perawat, obat, dan tirai berwarna putih di balik tembok-tembok rumah sakit.
Dukungan lain biasanya diberikan oleh Yustina dan teman-teman komunitas dalam kunjungan bulanan. Biasanya tim relawan menanyakan berbagai kebutuhan primer, seperti obat-obatan yang diperlukan, suplemen pendukung yang harus dikonsumsi, dan jenis susu yang dapat mereka minum.
Sejumlah dukungan itu merupakan dukungan instrumental jika mengacu pada teori dukungan sosial menurut Sarafino. Dukungan penghargaan turut diberikan dalam bentuk pemberian hadiah bagi pasien yang telah menyelesaikan satu rangkaian kemoterapi berupa pakaian, makanan kesukaan, dan mainan yang sangat ingin ia miliki.
Selanjutnya
Sedangkan dukungan informasi diberikan oleh komunitas dengan memantau aktivitas rutin yang harus dilakukan pasien agar bisa menjaga tubuhnya tetap vit menjelang kemoterapi atau proses pengobatan lainnya. Sebagai seorang relawan Komunitas Peduli Kasih, Yustina Periyanti pernah merasakan ‘sendirian’ ketika menemani ayahnya yang menderita sakit cukup lama, maka ia bertekad untuk menjadi sahabat bagi seseorang yang sakit beserta keluarganya agar mereka tidak merasa ‘sendirian’ dalam menjalani proses pengobatan yang cukup panjang serta melelahkan. Tak ada kata lelah dalam kamus Yustina.
Sosok yang berempati tinggi ini berharap semakin banyak orang yang mau duduk dan bermain bersama para penderita kanker yang tidak membutuhkan tatapan kasihan dari siapa pun. “Mereka butuh kita bukan kata-kata kasihan kita. Semoga acara sederhana yang kami kemas dengan cinta yang wow ini memberi dampak wow pada semangat adik-adik penderita kanker dalam menjalani proses pengobatan mereka,” harap Yustina.
Guru Bahasa Indonesia ini mengajak siapapun untuk berbagi rasa dan berbagi bahagia, misalnya menjadi teman untuk anak-anak kanker atau orang-orang di sekitar yang membutuhkan. Aksi kecil yang dilakukan dengan cinta akan menghasilkan jutaan senyum yang merekah untuk anak-anak Indonesia.
Penulis:
Patricia Astrid Nadia
Advertisement