Liputan6.com, Jakarta - Kasus kekerasan di dunia kedokteran bermunculan hampir di waktu bersamaan.
Mulai dari kasus asusila residen program pendidikan dokter spesialis atau PPDS Anestesi Universitas Padjadjaran (Unpad). Diikuti kasus oknum dokter obgyn di Garut, dokter PPDS Universitas Indonesia (UI), hingga oknum konsulen yang lakukan kekerasan pada dokter PPDS Universitas Sriwijaya (Unsri).
Advertisement
Sebelumnya, terjadi pula kasus bullying pada peserta PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (Undip).
Advertisement
Kekerasan di dunia kedokteran menjadi fenomena yang baru-baru ini ramai jadi perbincangan masyarakat. Sementara, pengamat manajemen kesehatan dr. Puspita Wijayanti, MMRS., mengaku tak kaget dengan munculnya kasus-kasus ini ke publik.
“Saya tidak kaget kasus-kasus ini mulai bermunculan ke publik. Yang kaget justru kenapa selama ini seolah ditoleransi,” kata Puspita kepada Health Liputan6.com, Selasa (23/4/2025).
Dia menyampaikan, kekerasan di dunia kedokteran Indonesia kerap disamarkan dengan narasi pendewasaan atau pelatihan mental.
“Dunia kedokteran kita selama bertahun-tahun hidup dalam sistem hierarkis yang kaku, di mana kekerasan verbal, psikis, bahkan fisik sering dibungkus narasi pendewasaan dan ketahanan mental.”
“Tapi kalau pendewasaan dilakukan dengan cara mencederai, itu bukan pendidikan, itu pembiaran,” ujarnya saat mengomentari kasus bullying dalam PPDS.
Mengapa Kasus-Kasus Ini Terungkap di Waktu Berdekatan?
Seperti diketahui, kasus-kasus di dunia kedokteran muncul di waktu yang berdekatan. Satu kasus belum usai, timbul kasus lain yang tak kalah mencengangkan.
“Saya percaya ini bukan soal kebetulan waktu, tapi momentum. Generasi baru dokter lebih berani bicara, masyarakat juga semakin melek isu kesehatan dan kekerasan struktural.”
“Ditambah tekanan sosial dan keterbukaan media digital, membuat praktik yang dulu dianggap ‘biasa’ sekarang tak bisa lagi disembunyikan,” jelas Puspita.
Advertisement
Pemerintah dan Institusi Pendidikan Harus Bagaimana?
Maraknya kasus kekerasan di dunia kedokteran menjadi teguran bagi pemerintah dan institusi pendidikan untuk bertindak lebih tegas.
Puspita pun menyarankan beberapa hal bagi pemerintah dan perguruan tinggi kedokteran agar kasus-kasus serupa dapat dicegah dan dihentikan.
“Pemerintah dan institusi pendidikan kedokteran harus mulai mendesain ulang sistem pembelajaran klinis. Ini bukan hanya soal jam kerja atau materi kurikulum, tapi tentang relasi kuasa yang perlu diawasi.”
“Harus ada protokol perlindungan bagi peserta didik, sistem pelaporan yang aman dan independen, serta evaluasi berkala terhadap perilaku tenaga pengajar, termasuk konsulen,” saran Puspita.
Tes Mental Saja Tidak Cukup
Salah satu upaya yang segera digencarkan pemerintah adalah tes kesehatan mental bagi para calon dan peserta PPDS. Namun, tes mental saja dinilai tak cukup.
“Tes mental itu penting, tapi tidak cukup. Karena yang sering luput bukan soal ‘siapa yang diterima’ tapi ‘sistem seperti apa yang mereka masuki?’ Tes kejiwaan tidak akan bisa mensterilkan lingkungan yang secara budaya permisif terhadap kekerasan.”
“Kita perlu intervensi sistemik, bukan sekadar seleksi psikologis di awal,” ucap Puspita.
Advertisement
