Liputan6.com, Jakarta Direktorat Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri (Dit. MItras DUDI), Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menginisiasi Program Asesmen Keselarasan Kurikulum Pendidikan Tinggi Vokasi dengan Industri, Dunia Usaha, dan Dunia Kerja (IDUKA) yang bertujuan untuk menganalisis kesenjangan (gap) kompetensi yang dimiliki mahasiswa atau lulusan vokasi dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh IDUKA.
Baca Juga
Advertisement
Pada tahun pertama pelaksanaan program, terdapat lima bidang prioritas yang menjadi sasaran asesmen, meliputi permesinan, konstruksi, ekonomi kreatif, hospitality, dan care service. Program ini kemudian diampu oleh 10 Perguruan Tinggi Vokasi (PTV) dengan melibatkan mitra industri dan alumni.
Program Asesmen Keselarasan Kurikulum dilaksanakan dengan metode survei yang terarah dan terstruktur, yakni membandingkan antara kompetensi lulusan Pendidikan Tinggi Vokasi dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh IDUKA. Selain mengidentifikasi dan menganalisis gap, program ini juga menyasar penguatan kemitraan dengan IDUKA sehingga diharapkan produktivitasnya pun meningkat.
Lebih lanjut, asesmen kurikulum kemudian dibahas dalam “Vokatalks Episode 2: Kurikulum Vokasi yang Menyejahterakan”. Webinar ini menghadirkan Direktur Mitras DUDI, Ahmad Saufi; Pakar Soft Skill, Dwi Sulistyorini Amidjono; Pakar Kurikulum Vokasi, Sandra Aulia; Pelaksana Program Asesmen Keselarasan Kurikulum dengan IDUKA, Nunung Martina; dan Profesor Bidang Sustainability dan Supply Chain Management Coventry University UK, Prof. Benny Tjahjono.
Selanjutnya
Membuka diskusi, Direktur Mitras DUDI, Ahmad Saufi menjelaskan, kurikulum merupakan pewujudan dan strategi program studi dalam mencapai tujuan pendidikannya. Kurikulum sendiri merupakan faktor penting yang menentukan keselarasan lulusan vokasi dengan kebutuhan kompetensi IDUKA.
Saufi menyebut, selama ini kurikulum di PTV telah dibangun dengan proses panjang. Namun di sisi lain, IDUKA mengalami kemajuan yang sangat pesat, dari mulai teknologi, infrastruktur, bisnis digital, hingga keterbukaan pasar. Maka dari itu, pendidikan vokasi membutuhkan kurikulum yang up to date dengan industri.
“Hasil dari asesmen kurikulum adalah berupa profil kesenjangan kompetensi, yang selanjutnya digunakan untuk melakukan tinjau ulang kurikulum dan sarana-prasarana. Langkah asesmen ini penting dilakukan agar efektivitas dan efisiensi pendidikan vokasi meningkat. Masing-masing program studi mendapatkan masukan untuk penyempurnaan kurikulum, sedangkan kami memiliki rujukan sebagai bahan penyusunan kebijakan untuk program-program penyelarasan berikutnya,” tutur Saufi.
Saufi menyebut, dalam penyusunan kurikulum, PTV wajib untuk melibatkan industri sehingga terwujud link and match. Ia kemudian menyontohkan pola pendidikan di Eropa yang mampu menjadikan vokasi sebagai primadona bagi masyarakat lantaran dapat menjamin lulusannya untuk siap kerja di industri.
Sementara di Indonesia pendidikan vokasi masih dianggap sebagai pendidikan kelas dua, belum lagi masih rendahnya kepercayaan masyarakat dan DUDI terhadap output lulusan vokasi.
Advertisement
Selanjutnya
Hal senada juga disampaikan oleh Profesor asal Coventry University UK, Benny Tjahjono. Menurutnya, pendidikan vokasi di setiap negara memiliki ciri khas masing-masing. Pola pendidikan vokasi di UK belum tentu cocok diterapkan di Tanah Air. Pasalnya, mutu pendidikan vokasi di Indonesia belum sepenuhnya merata, sehingga harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah.
“Skill vokasi terdiri atas hard skill yang merupakan kemampuan teknis, dan soft skill yang merupakan keterampilan seperti berkomunikasi, berpikir kritis, dan problem solving. Namun, kemampuan lain yang menurut saya penting dimiliki oleh lulusan vokasi adalah entrepreneur skill. Dengan kemampuan ini, lulusan vokasi dapat menciptakan atau membuka lapangan kerja sendiri,” ucap Benny.
Keahlian dari lulusan vokasi sendiri perlu dianggap sebagai skill yang spesifik. Kemudian, didukung dengan kemampuan soft skill yang disesuaikan dengan bidang pekerjaannya. Pentingnya soft skill ini selanjutnya disampaikan oleh Pakar Soft Skill, Dwi Sulistyorini Amidjono yang pada tahun 2017 melaksanakan Labor Market Assessment di sejumlah kabupaten di Jawa Barat.
Berdasarkan hasil tersebut, terjadi gap persepsi antara pencari kerja dengan pemberi kerja. Padahal, soft skill kini menjadi salah satu kemampuan yang sangat dipertimbangkan industri dalam menerima calon pegawai.
Perempuan yang akrab disapa Rini itu memaparkan, kesenjangan soft skill yang paling tampak adalah pada kemampuan berpikir kritis. Selain itu, kemampuan lainnya yang juga belum dipenuhi oleh lulusan vokasi adalah kemampuan berkomunikasi, mengambil keputusan, dan kerja tim.
Penyebab dari rendahnya soft skill ini, tambah Rini, adalah karena mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut selama menjalani studi di Pendidikan Tinggi Vokasi.
“Kami melakukan asesmen tersebut di kabupaten sehingga buka merupakan wilayah perkotaan. Maka dari itu, beberapa soft skill lainnya yang masih terjadi kesenjangan adalah percaya diri dan rendahnya motivasi. Namun, asesmen ini kami lakukan pada tahun 2017 sehingga memang butuh ditinjau Kembali. Kami juga sangat menantikan hasil asesmen kurikulum yang saat ini sedang dilakukan oleh Mitras DUDI. Apalagi di asesmen kurikulum ini juga memasukkan komponen soft skill,” kata Rini.
Selanjutnya
Pembahasan kemudian memasuki sesi kedua yang diisi oleh Pakar Kurikulum Vokasi, Sandra Aulia dan Pelaksana Program Asesmen Keselarasan Kurikulum dengan IDUKA dari Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), Nunung Martina. Sandra menerangkan tahapan umum dalam penyusunan kurikulum.
Pertama, adalah profil dari program studi, dilanjutkan dengan capaian pembelajaran, dan menyusun rancangan pembelajaran semester (RPS). Menurut dia, peran leader suatu perguruan tinggi penting dalam memastikan bahwa semua pihak terlibat dalam penyusunan kurikulum.
“Dalam penyusunan kurikulum, khususnya vokasi, jangan sampai lebih banyak posti teorinya. Pembahasan mengenai kurikulum ini tidak akan pernah berhenti karena harus selalu dicocokkan dengan kebutuhan industri,” terangnya.
Pada sesi terakhir, Nunung Martina menuturkan bahwa dalam penyusunan kurikulum pendidikan vokasi, instrumen sudah sangat lengkap, mulai dari kebijakan, pedoman, SDM, hingga mitra industri. Namun, permasalahan yang selalu muncul adalah ketidakselarasan kompetensi lulusan vokasi dengan kebutuhan industri. Hal ini perlu untuk dibicarakan bersama juga dicarikan solusinya.
Meski begitu, Nunung mengapresiasi Pemerintah yang kali ini benar-benar fokus dalam penguatan pendidikan vokasi. Dengan adanga Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi di Kemendikbud, terlebih unit khusus yang menangani kemitraan dan penyelarasan (Dit. Mitras DUDI), menjadi momentum untuk menguatkan pendidikan vokasi sehingga lulusannya memiliki nilai tambah dan berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa.
“Asesmen kurikulum selama ini sudah dilakukan, tetapi hanya lewat tracer study, belum terkonsep sedemikian rupa. Program Asesmen Keselarasan Kurikulum ini adalah sebuah terobosan yang sangat terarah karena ada analisis internal dan eksternalnya,” pungkas perempuan yang juga menjabat sebagai Wakil Direktur Bidang Akademik PNJ tersebut.
Advertisement