Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu lalu, publik sempat dihebohkan dengan kasus seorang YouTuber ternama, Chandra Liow yang diduga melakukan kekerasan terhadap mantan pacarnya, Inayma.
Pengakuan Inayma membuat publik ramai menyalahkan Chandra Liow yang saat itu masih belum memberikan komentar apapun. Sampai pada akhirnya Chandra Liow memberikan klarifikasi, dan menjelaskan fakta yang terjadi sebenarnya.Â
Namun, berbeda dengan Inayma yang langsung menjadi sorotan publik, klarifikasi Chandra Liow tidak menjadi buah bibir masyarakat. Hal ini juga disadari oleh salah seorang artis, "Perasaan kemarin pas Chandraliow di-spill, pada berisik banget sampai trending. Kok pas Chandraliow klarifikasi, Inayma gak trending?" tulis Kemal Palevi dalam akun Twitter resmi miliknya.Â
Advertisement
Hal ini juga sejalan dengan kasus yang terjadi sebelumnya, saat Johnny Depp mengaku telah menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), publik masih tidak percaya dengan pengakuan yang diungkapkan Johnny Depp.Â
Berkaca dari kasus yang menimpa Chandra Liow dan Johnny Depp yang keterangannya tidak dipercaya publik, ternyata alasan kenapa hal itu bisa terjadi. Mengapa masyarakat hanya fokus terhadap perempuan dan seolah olah tidak percaya jika laki-laki sebenarnya bisa menjadi korban kekerasan?
Dalam artikel RAINN yang membahas mengenai Sexual Assault of Men and Boys, beberapa pria yang selamat dari kekerasan seksual disebut sebagai orang dewasa yang merasa malu atau ragu-ragu. Hal ini karena sebagai laki-laki, mereka dianggap seharusnya cukup kuat untuk melawan pelaku kekerasan.
Baca Juga
Stigma Masyarakat
Menurut beberapa penelitian, kasus yang terjadi pada laki-laki kurang mendapat perhatian, karena stigma masyarakat yang terbiasa melihat perempuan adalah sebagai korban'Â
Dalam kasus ini, Melanie Subono juga ikut angkat bicara soal kasus KDRT yang menimpa laki-laki.
"Gak sekali dua kali kita mendampingi korban KDRT laki-laki dan itu mereka diketawain pada saat mau melapor," ujar Melanie Subono, dikutip dari YouTube Melaney Ricardo, Selasa (11/10/2022).
Lebih lanjut, korban kekerasan yang menimpa laki-laki, kebanyakan merupakan kasus kekerasan seksual.Â
Dikutip dari laman Indonesia Judicial Research Society, tidak dapat dimungkiri, kurangnya atensi publik terhadap kasus-kasus kekerasan seksual selain pada laki-laki sebagai pelaku terhadap korban perempuan, telah membatasi advokasi reformasi politik hukum bagi para korban.
Â
Â
Advertisement
Kurangnya Perlindungan Hukum
Dalam jurnal Gender Neutrality, Rape, and Trial Talk yang ditulis Philip Rumney tahun 2008, meskipun sebagian besar negara seperti Amerika telah mengadopsi peraturan perundang-undangan yang responsif gender, masih ada celah hukum yang mendiskriminasi korban laki-laki.
Berdasarkan paper Into The Mainstream: Addressing Sexual Violence against Men and Boys in Conflict dari Plan Internasional tahun 2014, fakta ini didukung oleh hasil survei di 189 negara. Di mana, terdapat dua puluh satu negara dari 189 negara tersebut yang belum memberikan perlindungan hukum komprehensif bagi korban laki-laki.
Dari sisi laki-laki sendiri, menurut berbagai sumber, beberapa laki-laki merasa tercoreng indentitasnya sebagai laki-laki maskulin jika menjadi korban pelecehan seksual. Dengan demikian, hanya sedikit dari beberapa korban laki-laki yang mau mengungkapkan penderitaannya.Â
Korban memiliki hak untuk melaporkan kejahatan yang dialami. Namun, karena aparat penegak hukum tidak selalu peka terhadap laki-laki sebagai korban, penting untuk memiliki teman atau pendamping yang mampu mendampingi dalam pelaporan tindak pidana. Dengan demikian, korban bisa mendapatkan dukungan dan bantuan yang tepat.
Â
Cara Menangani Korban
Untuk menangani dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pelecehan seksual terhadap laki-laki, perlu adanya ruang bagi para ahli untuk berdiskusi tentang cara memberikan bantuan bagi laki-laki dan anak laki-laki korban kekerasan seksual.
Seperti yang kita ketahui, isu ini merupakan hal sensitif bagi korban dan masyarakat, sehingga perlu strategi yang dipikirkan dengan matang. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam paper Sexual Violence Against Men and Boys oleh Wynne Russell, mengingat laki-laki sebagai korban kekerasan memiliki kebutuhan yang berbeda dari korban perempuan.
Laki-laki korban kekerasan seringkali enggan untuk membahas kekerasan seksual yang dihadapinya dan dampaknya. Selain itu, penyintas kekerasan seksual biasanya mengalami gangguan stres pasca trauma (PTSD), sehingga seorang penyintas biasanya disarankan untuk berkonsultasi dengan crisis centre atau orang yang ahli dalam hal tersebut.
Laki-laki korban kekerasan yang memiliki trauma terhadap laki-laki, bisa mengajukan konseling dengan perempuan atau menyesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan korban.
Hal-hal di atas itulah yang menyebabkan kasus kekerasan yang terjadi pada laki-laki kurang mendapat perhatian dari masyarakat.Â
Â
Advertisement