Liputan6.com, Jakarta Tahukah kamu, rata-rata ahli filsafat yang memberikan panduan cara hidup di abad ke-21 berasal dari Romawi? Beberapa tahun terakhir, banyak terdapat minat terhadap karya tiga filsuf stoa Romawi yang menawarkan panduan cara hidup yang baik. Mereka adalah Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius.
Bahkan cukup banyak buku-buku modern yang menggambarkan ide-ide mereka dan dikemas ulang sebagai panduan cara hidup yang baik, seperti buku A Guide to the Good Life karya William Irvine, Stoicism and the Art of Happiness karya Donald Robertson, dan How to Be a Stoic karya Massimo Pigliucci.
Selain itu, ada juga buku karangan pemuda Indonesia, yaitu Filosofi Teras karya Henry Manampiring yang pernah menjadi topik perbincangan di kalangan anak muda karena menyelaraskan antara filsafat kuno stoikisme dengan kehidupan zaman kini.
Advertisement
Stoikisme berpendapat bahwa kunci menuju kehidupan yang baik dan bahagia adalah dengan melakukan pengembangan kondisi mental yang baik. Bagi kaum Stoa, hal ini diidentifikasikan dengan kebijakan yang rasional. Kehidupan yang ideal adalah kehidupan yang selaras dengan alam karena kita semua menjadi bagiannya. Tidak kalah pentingnya, stoikisme juga membahas tentang dikotomi kendali, yaitu konsep yang menuntut manusia untuk fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan.
Lantas, bagaimana sebenarnya filsafat stoikisme mengatur hal tersebut? Berikut ulasannya, seperti yang dilansir dari halaman The Conversation pada Senin (4/9/2023).
Kendalikan Cara Berpikirmu
Epictetus mengatakan bahwa ada hal-hal yang berada dalam kendali manusia dan ada pula yang tidak, dan sebagian besar ketidakbahagiaan manusia disebabkan oleh pemikiran bahwa dirinya dapat mengendalikan semua hal.
Menurut ahli stoa tersebut, manusia hanya memiliki sebagian kecil kendali dalam hidupnya. Kamu tidak akan bisa mengendalikan apa yang dikatakan atau dilakukan orang di sekitarmu. Bahkan, kamu tidak bisa sepenuhnya mengendalikan dirimu sendiri. Satu-satunya hal yang benar-benar bisa kamu kendalikan adalah cara kamu berpikir terhadap sesuatu dan penilaian yang kamu berikan untuk suatu hal.
Fenomena ini membawa kita pada prinsip Epictetus yang lain, yaitu sejatinya bukan sesuatu hal yang membuat kamu kesal atau kecewa, melainkan karena cara berpikirmu terhadap sesuatu tersebut. Apabila kamu menilai sesuatu yang sangat buruk telah terjadi, kemungkinan besar kamu akan kesal, sedih, atau marah, semua tergantung penyebabnya.
Begitu pula, jika kamu menilai bahwa sesuatu yang buruk kemungkinan besar akan terjadi maka kamu mungkin akan merasa takut. Semua emosi ini merupakan hasil penilaian dan pemikiran yang kamu buat. Penilaian yang kamu buatlah yang memasukkan nilai ke dalam gambaran tersebut sehingga menghasilkan respons emosional.
Yang perlu diingat adalah paradoks stoikisme, seperti yang dirumuskan Epictetus, bahwa manusia hampir tidak memiliki kendali atas apa pun, tetapi pada saat yang sama manusia berpotensi memiliki kendali atas kebahagiaan dirinya.
Advertisement
Buatlah Pikiranmu Terlatih
Sekilas, hal ini mungkin terlihat menganggap remeh tantangan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, bagaimana pikiran yang berbeda-beda dapat membantu sekelompok orang yang kesulitan memilih menu makan malam? Kaum Stoa tidak menghindar dari hal tersebut. Mereka sepenuhnya mengakui bahwa hidup memang terkadang sulit.
Kaum Stoa mengembangkan serangkaian latihan yang dirancang untuk membantu seseorang menerapkan ide-ide stoikisme dalam kehidupan sehari-harinya. Seneca merekomendasikan untuk menulis ketika kamu merasa kesal karena tindakan yang kurang pantas dari orang lain.
Selain itu, Marcus Aurelius mempunyai strategi lain, yaitu manusia harus mengingatkan dirinya setiap pagi bahwa ia mungkin akan menghadapi banyak orang yang marah, stres, tidak sabar, atau bahkan orang yang tidak tahu berterima kasih. Dengan merenungkan hal ini, diharapkan kecil kemungkinan seseorang akan memberikan tanggapan yang salah. Hal ini dikarenakan seseorang akan merefleksikan fakta bahwa tidak satu pun orang di dunia ini yang sengaja melakukan suatu hal. Mereka adalah korban dari penilaian negatif mereka sendiri.
Pada konsep ini, ditemukan paradoks lain, yaitu tidak ada seorang pun yang memilih untuk tidak bahagia, marah, sengsara, tetapi kenyataannya semua ini adalah hasil penilaian sendiri yang merupakan satu-satunya hal yang berada dalam kendali kita.
Terimalah Semua yang Terjadi
Strategi Stoa lainnya adalah mengingatkan manusia akan ketidakpentingan dirinya. Dunia tidak hanya berputar di sekitar kamu. Marcus Aurelius secara teratur merenungkan tentang keluasan alam semesta dan ketidakterbatasan waktu yang membentang ke masa lalu dan masa depan.
Hidup manusia hanyalah momen ketika ditempatkan dalam sebuah perspektif. Mengingat hal ini, mengapa kamu harus mengharapkan alam semesta memberikan semua yang kamu inginkan?
Seperti yang dikatakan Epictetus, jika kamu mengharapkan alam semesta memberikan semua yang kamu inginkan maka kamu akan kecewa. Namun, jika kamu menerima semua yang diberikan alam semesta maka hidupmu akan jauh lebih bahagia. Pada kenyataannya, hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, tetapi akhir-akhir ini semakin banyak orang yang memperhatikan nasihat stoic ini dan berusaha untuk menerapkannya dalam kehidupan.
Advertisement